SERTIFIKASI DAN PENINGKATAN KUALITAS PENDIDIKAN
SERTIFIKASI DAN PENINGKATAN KUALITAS PENDIDIKAN:
Tantangan bagi Sosok Pendidik pada Era Global
Oleh: Drs. Ruslan, M.Pd.
ABSTRAK
Mereka para pendidiklah, masa depan dan peradaban bangsa ini dipertaruhkan. Tugas kependidikan yang diembannya bukanlah suatu jenis pekerjaan yang dapat diserahkan begitu saja pada sembarang orang untuk melakukannya. Pekerjan itu, memerlukan keprofesionalan khusus yang sengaja dirancang untuk melakunnya. Oleh karena itu, untuk memberikan jaminan terhadap kualitas pelaksanaan tugas pendidik, mereka harus memiliki sertifikat sebagai pendidik. Hanya pendidik yang terjamin kualitasnya yang mampu mengelola pembelajaran dengan baik, sekaligus meningkatkan kualitas pendidikan.
Setiap orang harus membuka mata dan hatinya untuk merenungkan dan menyadari bahwa betapa berat tantangan hidup yang harus dihadapi oleh sosok seorang pendidik. Meskipun upaya ke arah meringankan beban tantangan yang dihadapi oleh pendidik telah diprakarsai oleh pemerintah dengan dikeluarkannya UU RI No. 14 tahun 2005. Dukungan jangan berhenti sampai di situ, tetapi setiap orang harus beraksi dan mengambil peran secara bersama-sama menurut kadar kemampuannya masing-masing untuk mengatasi tantangan yang dihadapi oleh pendidik. Ada tiga jenis tantangan utama yang harus dihadapi dan harus mampu diatasi oleh sosok seorang pendidik dalam melaksanakan tugas kependidikannya, yakni: tantangan umum, tantangan sosial ekonomi dan tantangan profesi di lembaga pendidikan tempat mereka bertugas. Untuk mengatasi ketiga tantangan tersebut tidaklah bijak jika seluruh upaya dibebankan hanya di atas pundak pendidik saja, tetapi wajib melibatkan partisipasi penuh dari pihak pemerintah, orang tua peserta didik dan masyarakat pada umumnya.
Kata Kunci: Sertifikasi, tantangan, mutu pendidikan, dan pendidik.
A. PENDAHULUAN
Pasal 1, ayat 6, UU RI, No. 20, tahun 2003, tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS), menyatakan bahwa "Pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator, dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisipasi dalam menyelenggarakan pendidikan.". Selanjutnya, pasal 39, menyatakan bahwa, "Pendidik merupakan tenaga profesional yang bertugas merencanakan dan melaksanakan pembelajaran, menilai hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat, terutama bagi pendidik pada perguruan tinggi, (ayat 2)". Pendidik yang mengajar pada satuan pendidikan dasar dan menengah disebut guru, dan pendidik yang mengajar pada satuan pendidikan tinggi disebut dosen, (ayat 3). Kemudian, UU RI No. 14 Tahun 2005, pasal 1, ayat 1, menjelaskan bahwa Guru adalah "Pendidik Profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah".
Esensi tugas pendidik menurut kedua UU RI di atas terungkap menjadi lebih terinci, makin luas dan makin berat bebannya. Jika pengertian tentang pendidik dan/atau guru sebagaimana yang tersurat dalam UU RI No. 14 Tahun 2005, pasal 1, ayat 1, dan UU RI No. 20 tahun 2003 pasal 39, ayat 2 dan 3 di atas, dikaitkan dengan pasal 40, ayat 2 pada undang-undang yang sama, maka keduanya mengisyaratkan bahwa tugas kependidikan seorang pendidik sangat berat. Meskipun pada pasal 40 ayat 1 UU RI No. 20 tahun 2003 menegaskan tentang hak-hak yang harus diterima seorang pendidik berkaitan dengan tugas-tugasnya sebagai pendidik, tetapi pada ayat 2 menunjukkan beban tugas yang sangat berat bagi pendidik.
Pasal 40 ayat 1 berbunyi, pendidik dan tenaga kependidikan berhak memperoleh:
(a) penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai;
(b) penghargaan sesuai dengan tugas dan prestasi kerja;
(c) Pembinaan karier sesuai dengan tuntutan pengembangan kualitas;
(d) perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas dan hak atas hasil kekayaan intelektual; dan
(e) kesempatan untuk menggunakan sarana, prasarana, dan fasilitas pendidikan untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugas.
Sementara itu, pada ayat 2 dinyatakan bahwa, "Pendidik dan tenaga kependidikan berkewajiban:
(a) menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis;
(b) mempunyai komitmen secara profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan; dan
(c) memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya.
Implementasi dari konsep normatif di atas menuntut adanya kerja keras pada pihak pendidik, baik dalam proses berpikir, maupun dalam proses implementasi tugas kependidikannya. Bersamaan dengan itu, tantangan eksternal makin keras pula mendera para pendidik, seiring merebaknya globalisasi informasi, barang dan hasil produksi. Oleh karena itu, jika bangsa dan negara ini menghendaki agar kewajiban pendidik dapat terlaksana dengan baik, maka pemerintah dan masyarakat harus berperan aktif secara bersama-sama memenuhi hak-hak pendidik agar mereka mampu meminimalisasi bias berpikir, bertindak dan berkaryanya, sehingga tidak dengan mudah mereka meninggalkan tugas dan kewajibannya sebagai seorang pendidik yang profesional.
Bagaimana seorang pendidik akan mampu mengurangi bias berpikir, bertindak dan berkaryanya sebagai agen pembelajaran kalau kebutuhan primernya saja tidak mampu di atasi melalui hak-hak yang diperoleh dari pekerjaannya sebagai pendidik? Lalu, bagaimana kualitas pendidikan dapat diaharapkan meningkat jika seorang pendidik atau guru tidak terfokus menjalankan kewajibannya sebagai agen pembelajaran? Bagaimana seseorang dapat diharapkan fokus bekerja jika biaya pengobatannya saja tidak mampu di atasi? Kadang harus ngutang duluan dan tidak mampu di atasi melalui hak-hak yang diperoleh dari pekerjaannya sebagai pendidik. Masih banyak lagi deretan daftar pertanyaan yang menjadi tantangan hidup yang harus dihadapi oleh sosok pendidik dalam era global sekarang, hingga ke masa depan.
B. TANTANGAN UMUM
Era globalisasi adalah era di mana batas-batas suatu wilayah tidak lagi menjadi penghalang keluar-masuknya berbagai informasi. Batas suatu wilayah makin tidak berarti bila ditinjau dari makin mudahnya suatu informasi merambah dan menyusup dari suatu tempat ke tempat lain. Informasi yang masuk ke dalam suatu negara tidak lagi terhalang oleh batas negara yang memiliki ragam budaya dan peradabannya masing-masing. Hal ini sejalan dengan pendapat Tilaar (2000), yang menyatakan bahwa, kehidupan umat manusia dalam millenium yang baru mempunyai dimensi bukan hanya dimensi domestik, tetapi juga dimensi global. Aktivitas kehidupan sekarang demikian terbuka, dunia tanpa batas. Oleh karena itu, kehidupan global bukan hanya merupakan tantangan, tetapi juga membuka peluang-peluang baru di dalam usaha meningkatkan taraf hidup masyarakat dan bangsa Indonesia.
Oleh karena itu, tidak salah jika dikatakan bahwa era globalisasi adalah era kehancuran sekaligus sebagai era kemenangan. Kehancuran bagi budaya dan peradaban yang tidak sanggup lagi bersaing dengan budaya dan peradaban yang datang menggempur melalui informasi dari segala penjuru. Sementara itu, bagi budaya dan peradaban yang kuat akan tetap bertahan mengibarkan bendera kemenagannya.
Budaya dan peradaban merupakan serangkaian tata nilai yang menjadi kesepakatan bagi sekelompok orang dalam lingkup wilayah tertentu. Kemudian kesepakatan itu dijadikan pandangan dan kendali terhadap sikap dan perilaku mereka yang menyepakatinya. Oleh karena itu, jika pada suatu lingkup wilayah tertentu, budaya dan peradaban yang di dalamnya terkandung serangkaian tata nilai tidak lagi menjadi pandangan dan kendali bagi orang-orang yang berada di dalamnya, maka pada saat itu pulalah budaya dan peradaban tersebut hancur. Pada saat yang bersamaan pula muncul dan berkembanglah pandangan dan perilaku baru sebagai wujud budaya dan peradaban baru. Dahulu, memperbincangkan masalah "perilaku sex" sangatlah tabuh dan sangat susah untuk diakses, tetapi sekarang, "tari telanjang" pun sudah sampai dipertontonkan hingga di desa-desa, naudzubillahi min dzalik. Apakah hal semacam itu akan membudaya di masyarakat, terutama masyarakat Bugis yang terkenal religius?
Tantangan berat yang dihadapi oleh para pendidik pada era sekarang ini adalah masalah mempertahankan tata nilai yang dianggap baik untuk diteruskan kepada anak bangsa ini yang menjadi peserta didiknya, sebagaimana yang diamanatkan oleh Undang-undang RI No. 20 tahun 2003, pasal 40 ayat 1 dan 2 di atas. Tidak terkecuali kepada siapapun, terutama bagi orang tua dan pendidik. Orang tua harus makin memperbaiki fungsi pembimbingannya pada anak-anaknya dalam lingkungan rumah tangganya dan pendidik harus makin meningkatkan kualitas pelaksanaan tugas dan perannya di lembaga pendidikan yang dikelolanya dan lingkungannya. Pendidik yang berperan sebagai pengganti orang tua anak pada lembaga pendidikan harus melaksanakan tugas mendidik untuk meneruskan nilai-nilai yang dianggap baik kepada peserta didiknya. Tiga tugas utama pendidik yang tersirat dalam undang-undang tersebut di atas adalah mendidik, mengajar dan membimbing peserta didiknya.
Kemudian, berdasarakan uraian di atas dapat dikatakan bahwa tugas pendidik yang paling berat untuk diwujudkan dalam mengahadapi tantangan era globalisasi sebagai tantangan umum adalah tugas mendidik di samping kedua tugas utama lainnya. Tugas mendidik bagi pendidik berarti melakonkan dan meneruskan serangkaian tata nilai yang dianggap baik dan terpuji kepada peserta didik dalam rangka membentuk sikap dan perilaku baru bagi mereka. Hal itu berarti bahwa tantangan utama yang harus di atasi oleh pendidik adalah pengaruh tata nilai baru yang tidak mendukung tata nilai yang akan diteruskan kepada peserta didiknya.
Roestiyah (1986), menyatakan bahwa yang menjadi pemikiran bagi semua ahli pendidikan dan pengajaran, ialah "Pendidik yang bagaimanakah yang diharapkan oleh masyarakat yang telah sedemikian majunya, terutama di Indonesia yang berpandangan hidup Pancasila?" Mampukah pendidik melakukan tindakan kependidikan dalam rangka mengatasi tantangan itu? Semoga saja mampu. Hal ini sangat bergantung pada dukungan konsep dan aksi dari seluruh komponen bangsa dalam sistem kehidupan berbangsa ini.
Tenaga adalah sosok penentu corak masa depan bangsa. Berkat jeri paya merekalah akan terpola sumberdaya manusia yang berkualitas atau sebaliknya. Seperti kata Moh. Uzer Usman, (1994) bahwa "Hari depan bangsa terletak di tangan para pendidik". Pendidik yang lemah dalam melaksanakan peran dan tugasnya menjadi pertanda buruk dan suramnya masa depan suatu bangsa. Pola sistem sosial yang akan terbentuk ke depan sangat bergantung pada pola pendidikan anak saat sekarang. Oleh karena itu titik sentral pergerakan kebudayaan bermula pada lembaga pendidikan hingga terbentuknya sistem sosial tertentu.
Sistem sosial hingga sekarang secara umum memandang bahwa sosok pendidik sebagai sosok yang harus berdiri tegak dengan segala kemampuannya dalam mengaktualisasikan tugasnya untuk mewariskan ilmu pengetahuan, nilai-nilai luhur, dan keterampilan yang tahan uji terhadap tantangan sistem sosial bagi peserta didiknya. Oleh karena itu, pendidik harus mampu mengemban tugas sebagai pendidik, pengajar dan pembimbing. Atas dasar itu, tidak salah jika pada pundak mereka diletakkan tanggung jawab yang amat besar oleh para orang tua peserta didik, masyarakat, bahkan dari bangsa ini secara keseluruhan.
Sementara itu, tantangan yang mereka hadapi dalam menjalankan tugasnya makin banyak dan beragam jenisnya. Ditinjau dari makin gencarnya berbagai informasi yang dapat diakses oleh masyarakat, dapat dikatakan bahwa tantangan umum yang dihadapi oleh para pendidik adalah tantangan yang datangnya dari sistem sosial lingkungan tempat tinggal pendidik, peserta didik dan lingkungan lembaga pendidikan. Selain itu, krisis keuangan negara makin manambah berat tantangan umum yang harus mampu di atasi oleh seorang pendidik.
Mengapa demikian? Sangat mudah dipahami! Pergerakan harga kebutuhan berbanding kuadratis terhadap pergerakan pendapatan seorang pendidik. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika ada sementara pendidik terpaksa melakukan kerja sampingan selain mengajar, dengan tujuan semata-mata untuk mempertahankan kepulan asap dapur diri dan keluarganya. Kerja sampingan yang terpaksa dilakukan akan menyita sebagian dari porsi waktu tugas kependidikan mereka, sehingga harapan untuk melakukan persiapan mengajar dengan baik susah tercapai. Jika persiapan mengajar seorang pendidik tidak maksimal, maka susah mengharapkan aktivitas mengajar yang baik dari mereka. Jika aktivitas mengajar kurang bagus, maka kualitas transformasi ilmu pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dari mereka kepada perserta didiknya tidak maksimal. Akibatnya, kualitas peserta didik juga akan menjadi rendah. Dampaknya secara luas adalah menurunnya kualitas istem sosial yang terbentuk dan peradaban bangsa yang dapat mereka teruskan.
Apakah cukup adil jika hanya pendidik yang harus berdiri tegak menantang badai peradaban? Laksana kayu bakar lalu jadi arang dan berakhir menjadi pahlawan tanpa tanda jasa? Orang bijak harus menjawab, tidak! Para pendidik hanyalah sekelompok orang yang berdiri sebagai komponen dari sistem kehidupan ini. Mereka bukanlah sosok malaikat yang tidak membutuhkan waktu, ruang dan berbagai fasilitas hidup di bumi ini. Mereka adalah manusia biasa seperti manusia pada umumnya yang menginginkan segala kebutuhannya terpenuhi. Mereka memiliki berbagai keterbatasan yang mengharuskan komponen lain dari sistem kehidupan ini memahami dan berperan-serta untuk melengkapi kekurangan pendidik dan mengatasi segala bentuk tantangan yang dihadapinya.
C. TANTANGAN SOSIAL EKONOMI
Pendidik sebagai manusia biasa sama seperti manusia lainnya pada umumnya. Mereka memiliki keluarga dan hidup dalam lingkungan masyarakat di sekitarnya. Berinteraksi dengan keluarga sendiri dan masyarakat di sekitarnya merupakan tantangan tersendiri bagi pendidik dalam melaksanakan tugasnya sebagai pendidik. Interaksi yang dilakukan bertujuan untuk memenuhi kebutuhan masing-masing pihak, baik pihak pendidik, keluarga pendidik maupun bagi pihak masyarakat. Kebutuhan yang ingin dipenuhi berupa kebutuhan primer, sekunder, kemewahan, dan kebutuhan lainnya, seperti kebutuhan meperoleh penghargaan dari orang lain, rasa dan nikmat estetika. Pemenuhan berbagai jenis kebutuhan tersebut senantiasa berkaitan langsung dengan kondisi ekonomi seorang pendidik.
Jika seorang pendidik dalam memenuhi kebutuhannya hanya mengandalkan gajinya (untuk kondisi sekarang) sebagai seorang pendidik, maka pendidik terpaksa harus terus-menerus berpuasa senin-kamis. Atau seorang pendidik harus membujang sepanjang hidupnya. Kenapa demikian? Jawabnya, mudah saja, yakni tidak terciptanya keseimbangan antara pergerakan kenaikan gaji pendidik dan pergerakan kenaikan harga kebutuhan pokok pendidik. Kalau gaji pendidik bertambah mengikuti deret hitung linier, maka harga kebutuhan pokok pendidik mengikuti deret hitung kuadratis. Artinya, kalau gaji pendidik bertambah Rp 100,00 setiap tahun, maka harga kebutuhan pokok pendidik menjadi Rp 10.000,00 setiap tahun. Celaka tiga belas!
Kalau kondisi ketidakseimbangan antara gaji pendidik dan harga kebutuhan pokok pendidik terus berlangsung seperti itu, maka dapat diprediksi bahwa sepuluh tahun ke depan keluarga pendidik yang hanya mengandalkan gajinya untuk hidup akan berada dalam kelompok masyarakat di bawah garis kemiskinan. Pada saat yang bersamaan akan banyak pendidik berhenti jadi pendidik dan memilih pekerjaan lain untuk menunjang kehidupannya yang lebih layak. Berarti bencana besar bagi dunia pendidikan, begitu pula terhadap kelanjutan peradaban bangsa ini.
Sementara itu, pada umumnya orang sering berkomentar "rendahnya kualitas lulusan pendidikan formal sekarang, banyak disebabkan oleh rendahnya kualitas mengajar pendidik". Namun sangat disayangkan, karena sangat jarang orang berkomentar, "rendahnya kualitas lulusan pendidikan formal sekarang karena kurangnya perhatian dan partisipasi orang tua, pemerintah, dan masyarakat terhadap hak-hak yang harus diberikan kepada pendidik berkenaan dengan tugas kependidikan yang diembannya. Apatah lagi upaya untuk mengatasi tantangan pelaksanaan tugas kependidikan pendidik di sekolah dan masyarakat. Banyak orang hanya tahu menyalahkan, tetapi tidak berdaya menunjukkan upaya solusinya. Apa tah lagi turut serta berpartisipasi dalam upaya pemecahan masalah, termasuk kesiapan dan kesidian mereka dalam meringankan beratnya tantangan tugas kependidikan pendidik di sekolah atau lembaga pendidikan formal dan masyarakat.
D. TANTANGAN PROFESI DI LEMBAGA PENDIDIKAN
Lingkungan lembaga pendidikan tempat pendidik bekerja merupakan lingkup formal bagi seorang pendidik untuk melaksanakan tugas utamanya sebagai pengajar, pembimbing dan pendidik. Implementasi tugas pendidik di dalam lembaganya tidaklah semudah membalik telapak tangan. Lingkungan lembaga pendidikan bukanlah lingkungan yang mendudukkan pendidik tanpa menghadapi tantangan, yang terkadang mengusutkan pikiran dan memenatkan badan. Berbagai tantangan harus mereka atasi. Mulai dari pekerjaan skala kecil, seperti persiapan mengajar hingga pada skala besar seperti pelaksanaan PBM dan penentuan nilai akhir peserta didiknya hingga pada melakonkan sikap dan perilaku tauladan, baik dalam lingkungan lembaganya maupun dalam lingkungan masyarakat di sekitarnya.
Tugas kependidikan bukanlah suatu jenis pekerjaan yang dapat diserahkan begitu saja pada sembarang orang untuk melakukannya. Pekerjan itu, memerlukan keprofesionalan khusus yang sengaja dirancang untuk melakukannya, (Moh. Uzer Usman. 1994). Seorang guru yang profesional harus mampu mengimlemntasikan empat komptensi utama sebagai agen pembelajaran, yakni:
(1) komptensi pedagogik;
(2) kompetensi profesional;
(3) kompetensi kepribadian; dan
(4) kompetensi sosial, (PP RI No. 19 tahun 2005, pasal 28, ayat 3).
Oleh karena itu, tidak semua orang mampu melakukan tugas tersebut dan mampu memahami kuantitas dan kualitas tantangan yang harus dihadapi dan diatasi.
Mengajar merupakan tugas yang tidak ringan bagi seorang pendidik. Pendidik berhadapan dengan sekelompok peserta didik. Mereka adalah makhluk hidup dengan karakteristiknya masing-masing yang unik. Mereka memerlukan bimbingan dan pembinaan dari pendidik sebagai pengajar pendidik dan pembimbing, (Roestiyah, 1986). Dengan karekteristik yang berbeda-beda dari peserta didik yang dihadapi mengahruskan pendidik melakukan persiapan mengajar dengan baik. Sementara itu, tantangan dalam pelaksanaannya pun juga tidak ringan.
Pendidik dalam melakukan persiapan mengajar harus terlebih dulu memahami karakteristik peserta didik yang akan menerima materi pelajaran. Selain itu, muatan materi pelajaran harus diselaraskan dengan tingkat perkembangan dan pertumbuhan peserta didik tanpa melupakan tingkat perbedaan karakteristik masing-masing peserta didik. Selanjutnya, materi pelajaran harus mengadung unsur pengetahuan, sikap dan keterampilan tertentu yang diselaraskan pula dengan tingkat perkembangan dan pertumbuhan peserta didik, (Mulyasa, 2003).
Langkah persiapan mengajar pendidik tidak berhenti sampai di situ, tetapi ia harus pula mampu menselaraskan materi yang akan dipersiapkannya dengan berbagai komponen atau fasilitas pendukung mengajar lainnya yang tersedia di sekolah, (Winarno Surakhmad, 1986). Hal itu penting mereka lakukan agar nanti dalam pelaksanaan PBM mereka tidak menemui berbagai kendala yang dapat menghalanginya mencapai tujuan belajar-mengajar yang telah direncanakan sebelumnya.
Lalu, apa yang harus mereka (pendidik/guru) lakukan jika fasilitas pendukung yang diperlukan untuk melakukan persiapan mengajar, seperti: buku sumber materi pelajaran, alat peraga dan atau media yang diperlukan dan sebagainya tidak tersedia di sekolah? Bukankah kondisi seperti ini merupakan tantangan pelaksanaan tugas yang cukup berat yang harus mereka hadapi dan atasi demi menggolkan tujuan belajar yang harus dicapai peserta didiknya? Bagaimana jalan keluarnya? Haruskah mereka menjadi kayu bakar, mengorbankan diri yang nota bene imbalan yang diterimanya sebagai pendidik telah mengalami berbagai pemotongan di sana-sini yang tidak jelas kontribusinya bagi mereka? Padahal gaji yang diterimapun sudah tidak mencukupi pemenuhan kebutuhan mereka sehari-hari.
Diperparah lagi oleh tertinggalnya pergerakan pendapatan dari gaji mereka bila dibandikan dengan pergerakan harga kebutuhan sehari-hari sebagai dampak dari krisis ekonomi yang berkepanjangan. Salah satu hak yang harus diterima oleh seorang pendidik menurut pasal 40 ayat 1 Undang-undang RI No. 2 tahun 2003 adalah memperoleh penghasilan dan jaminan kesejahteraan sosial yang pantas dan memadai. Dipertegas lagi oleh UU RI No. 14 tahun 2005, pasal 16, ayat 2 yang menyatakan bahwa guru yang telah memiliki sertifikat pendidikan berhak mendapat tunjangan profesi yang setara dengan 1 (satu) kali gaji pokok yang diangkat oleh satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau pemerintah daerah pada tingkat, masa kerja, dan kualifikasi yang sama.
Pernyataan layak dan memadai adalah dua kata yang tidak tegas batasan operasionalnya, meskipun pada pasal 14, ayat 1, poin a dan pasal 15 ayat 1 megasakan bahwa pengahsilan guru harus di atas kebutuhan hidup minimum. Hal ini dapat dan berpeluang menggiring para pendidik menjadi robot-robot bernyawa tak berdaya untuk menentukan posisi martabatnya dalam sistem sosial yang melingkupinya.
Sudah saatnya membuat batasan operasional tentang ukuran penggajian pendidik berkaitan dengan sistem sosial masyarakat. Misalnya, gaji para pendidik minimal 13 kali lipat lebih tinggi dari tingkat upah minimal regional (UMR). Hal ini diwacanakan karena dimensi tugas kependidikan para pendidik 13 kali lebih berat daripada tugas-tugas lainnya. Kesalahan pengelolaan dalam bidang ini akan berdampak celaka 13. Artinya, kesalahan pengelolaan bidang pendidikan sebagai salah sistem sosial akan menyebabkan terbentuknya suatu pola sistem sosial jahannam. Pola sosial kehidupan bertingkat tujuh yang sepola dengan segi tiga Pascal beralaskan tiga belas segi tiga sama sisi. Sistem semacam itu akan memposisikan guru sebagai alas segitiga pascal yang hasus memikul beban segi tiga di atasnya dengan porsi pembagian yang sama dengan posisi segitiga di atasnya. Kondisi tersebut dijabarkan seperti Gambar 1.
Siklus kerja pendidik tidak lantas terhenti pada persiapan mengajar saja, tetapi mereka harus terus bekerja mengimplementasikan persiapan mengajar yang telah dilakukannya dalam proses belajar-mengajar (PBM). Kemudian terus bekerja dan bekerja lagi hingga menetapkan suatu keputusan peniliaian seobyektif mungkin atas perubahan sikap dan perilaku yang diraih peserta didiknya yang telah mengalami PBM.
Tantangan apa lagi yang harus dihadapi pendidik dalam fase ini (fase PBM)? Berat! Memang sungguh berat! Pada fase kerja ini, pendidik harus berdiri melaksanakan PBM di hadapan peserta didik yang memilki rasa, cipta dan karsa yang membentuk karakteristik mereka masing-masing. Pendidik harus melaksanakannya dengan hati-hati, dengan mempertimbangkan perbedaan karakteristik peserta didiknya untuk mengajarkan ilmu pengetahuan, keterampilan dan melakonkan perilaku dalam rangka meneruskan perilaku yang berisi nilai-nilai luhur kepada peserta didiknya, selama berlangsungnya PBM.
PBM merupakan inti dari proses pendidikan secara keseluruhan dengan pendidik sebagai pemegang peranan utama, (Moh. Uzer Usman, 1994). Kemudian Losanov (1978) dalam DePorter dkk. (2003), menyatakan bahwa PBM adalah fenomena yang kompleks. Segala sesuatunya berarti -setiap kata, pikiran, tindakan dan asosiasi- sejauh mana pendidik menggubah lingkungan, presentasi dan rancangan pengajaran, sejauh itu pula PBM berlangsung.
Pernyataan di atas menunjukkan bahwa pada fase pembelajaran inilah aktivitas pendidik yang paling sensitif, karena lakon yang diperankannya di depan peserta didik akan menjadi bibit pembentukan sikap dan perilaku baru bagi peserta didiknya. Lakon yang diperankan pendidik dengan baik, akan mengantarkan peserta didiknya memilki sikap dan perilaku yang baru dan baik pula. Lakon mereka yang jelek, akan mengantarkan peserta didiknya memilki sikap dan perilaku baru yang lebih jelek pula.
Atas dasar posisi guru sebagai pola lakon yang menentukan pola lakon bagi peserta didiknya, terkenallah seuntai kalimat sindiran bagi perilaku yang dilakonkan para pendidik, "guru kencing berdiri, murid kencing berlari". Pendidik yang melakonkan satu pelanggaran, akan menyebabkan peserta didiknya akan melakukan seribu satu macam pelanggaran. Begitu berat dan sensitifnya kerja pendidik pada fase ini. Inilah wujud tantangan yang sangat berat dan harus dilulusi oleh sosok seorang pendidik dalam mengemban tugas kependidikannya. Tantangan yang begitu berat dalam mengajarkan dan meneruskan nilai-nilai tertentu untuk membentuk sikap dan perilaku baru bagi peserta didiknya.
Selain itu, kerja pendidik pada fase ini harus mampu mengatasi bias atau pengaruh informasi yang mengandung nilai-nilai buruk, yang datangnya dari berbagai penjuru tanpa terbatas lagi oleh dimensi ruang dan waktu sebagai akibat dari era globalisasi informasi. Segala bentuk informasi yang datang dari luar lingkungan sekolah akan menjadi sebuah stimulus yang dapat menjadi unsur penghalang atau pendukung bagi peserta didik dalam menyerap ilmu pengetahuan, sikap dan perilaku yang diajarkan oleh pendidik di sekolah. Mampukah sosok seorang pendidik mengahadapi, mengendalikan dan mengatasi tantangan ini? Sangat banyak faktor yang harus dikaji, diuraikan dan dijelaskan untuk menjawab pertanyaan ini. Namun demikian, secara umum, ada dua faktor utama yang harus dianalisis untuk menjawab tantangan ini, yakni: pertama faktor penghambat, dan yang kedua faktor pendukung.
Hal yang tak terbantahkan adalah adanya faktor-faktor yang dapat menghambat maupun yang mendukung pengimplementasian tugas pendidik dalam proses belajar bengajar (PBM). Faktor-faktor terserbut dapat bersumber dari diri pendidik, dari luar diri pendidik atau dari kedua-duanya, seperti kondisi ekonomi keluarga, status perkawinan, jumlah anak, pekerjaan sampingan, perbedaan budaya, lokasi dan kondisi sekolah tempat menjalankan tugas kependidikan seorang pendidik, dan lain sebagainya.
Tantangan baru yang muncul kemudian dalam rangka pelaksanaan tugas keprofesionalan seorang guru atau pendidik, seiring dengan terbitnya UU RI No. 14 Tahun 2005 dan PP RI No. 19 tahun 2005 adalah tantangan normatif berupa sertifikasi guru sebagai jaminan lulus uji kompetensi sebagai guru profesional. Meskipun di dalamnya ada harapan baru berkaitan dengan tingkat kesejahteraan guru, tetapi sekaligus menjadi buah kecemasan dan penantian yang belum pasti bagi pendidik atau guru.
Guru harus berkualitas menurut standar tertentu. Bukti kualitas menurut standar tertentu yang menjamin seseorang dapat dikatakan sebagai guru profesional adalah selembar sertifikat. Pemerolehan sertifikat sebagai guru profesional harus melalui dan lulus uji kompetensi guru.
Ada dua kriteria utama yang menjadi syarat untuk sampai kepada maksud tersebut, yakni:
1. Memenuhi kualifikasi akademik pendidikan formal minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1).
2. Memenuhi standar kompetensi sebagai agen pembelajaran
(PP RI No. 19 Tahun 2007, pasal 28, ayat 1 - 3)
Pendidik harus memiliki kualifikasi akademik dan kompetensi sebagai agen pembelajaran, sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan Nasional, (PP RI No. 19 Tahun 2005, pasal 28, ayat 1). Kualifikasi akademik, sebagaimana yang dimaksudkan pada ayat (1) adalah tingkat pendidikan minimal yang harus dipenuhi oleh seseorang yang dibuktikan dengan ijazah dan/atau sertifikat keahlian yang relevan sesuai ketentuan perundang-undangan yang berlaku, (PP RI No.19 Tahun 2005, pasal 28, ayat 2).
Selanjutnya, Kualifikasi Pendidik menurut tingkatan pendidikan formal tempat guru mengajar dijabarkan lebih lanjut pada pasal 29, ayat 1 - 6.
Pasal 1: Pendidik pada usia dini memiliki:
a. Kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1);
b. Latar belakang pendidikan tinggi di bidang pendidikan usia dini, kependidikan lain, atau psikologi; dan
c. Sertifikasi profesi guru untuk PAUD.
Pasal 2: Pendidik pada SD/MI atau bentuk lain yang sederajat memiliki:
a. Kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1);
b. Latar belakang pendidikan tinggi di bidang pendidikan SD/MI, kependidikan lain, atau psikologi; dan
c. Sertifikasi profesi guru untuk SD/MI.
Pasal 3: Pendidik pada SMP/MTs atau bentuk lain yang sederajat memiliki:
a. Kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1);
b. Latar belakang pendidikan tinggi dengan program pendidikan yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan; dan
c. Sertifikasi profesi guru untuk SMP/MTs.
Pasal 4: Pendidik pada SMA/MA atau bentuk lain yang sederajat memiliki:
a. Kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1);
b. Latar belakang pendidikan tinggi dengan program pendidikan yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan; dan
c. Sertifikasi profesi guru untuk SMA/MA.
Pasal 5: Pendidik pada SDLB/SMPLB/SMALB, atau bentuk lain yang sederajat memiliki:
a. Kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1) latar belakang pendidikan tinggi dengan program pendidikan khusus atau sarjana yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan; dan
b. Sertifikasi profesi guru untuk SDLB/SMPLB/SMALB.
Pasal 6: Pendidik pada SMK/MAK atau bentuk lain yang sederajat memiliki:
a. Kualifikasi akademik pendidikan minimum diploma empat (D-IV) atau sarjana (S1);
b. Latar belakang pendidikan tinggi dengan program pendidikan yang sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan; dan
c. Sertifikasi profesi guru untuk SMK/MAK.
Penjelasan konsep selanjutnya berkaitan dengan sertifiksi guru adalah kompetensi pendidik atau guru atau dosen. Kompetensi menurut Wibawa, Basuki, (2005), menggolongkan kompetensi menjadi tiga bagian, yakni: Kompetensi Individu; Kompetensi Kelompok; dan Kompetensi Inti Organisasi. Kompetensi individu adalah kombinasi pengetahuan, kemampuan/ keterampilan dan sikap yang dimiliki seseorang, termasuk guru SMK sehingga ia mampu melaksanakan pekerjaan yang telah dirancang bagi dirinya (sebagai pendidik) baik untuk saat ini maupun di masa mendatang. Sementara itu, kompetensi kelompok adalah perpaduan kompetensi individu yang bersinergi untuk membentuk kompetensi inti organisasi. Kompetensi inti organisasi adalah keunggulan-unggulan sinergis yang dimiliki oleh suatu organisasi atau lembaga pendidikan sehingga mampu mencapai tujuannya dan menjawab permahsalahan dan tantangan implementasi program kerja yang dihadapi. Kompetensi organisasi biasanya dibangun melalui proses pertumbuhan pembelajaran yang melibatkan berbagai elemen organisasi dan sering kali menyita waktu yang panjang dan menyerap sumberdaya yang besar.
Gonczi (1997) dalam Wibawa, Basuki, (2005), menyatakan bahwa kompetensi merupakan kombinasi yang kompleks antara pengetahuan, sikap, keterampilan dan nilai-nilai yang ditunjukkan dalam konteks pelaksanaan tugas. Sementara itu, UU RI No. 14 2005, Pasal 1, ayat 10, menegaskan bahwa kompetensi adalah seperangkat pengetahuan, keterampilan, dan perilaku yang harus dimiliki, dihayati dan dikuasai oleh guru atau dosen dalam melaksanakan tugas keprofesionalan. Dengan demikian, kompetensi guru merupakan karakteristik dasar yang titunjukkan oleh guru dalam bentuk pernyataan, sikap dan tindakan yang membentuk kepribadiannya yang mampu membedakan dirinya dengan orang lain dengan performansi tinggi atau rendah dalam melaksanakan tugasnya di bidang pekerjaan tertentu dalam lembaga pendidikan.
Meskipun pengertian kompetensi secara umum telah dijelaskan di atas, tetapi secara rinci yang mengindikasikan kompetensi guru sebagai agen pembelajaran meliputi: Kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional, dan Sosial, (UU RI No. 14 tahun 2005, pasal 10 ayat 1; dan PP RI No. 19 tahun 2005, pasal 28, ayat 3).
Lulus uji kompetensi sebagai syarat untuk memperoleh sertifikasi profesi yang menandai layak tidaknya seorang pendidik menyandang sebutan pendidik profesional berimplikasi pada meningkatnya penghasilan pendidik. Pendidik yang menyandang sebutan profesional berhak memperoleh tunjangan prfesi sebesar satu kali gaji pokoknya. Pendapatan yang bertambah akan berimplikasi pula pada meningkatnya perhatian pendidik pada tugas pokoknya dan akan mengurangi porsi waktunya untuk bekerja "di luar" jam tugas pokoknya. Hal itu berdampak positif pada kualitas pengelolaan PBM yang dikelolanya. Selanjutnya, dapat diharapkan kualitas perserta didiknya meningkat pula. Pada akhirnya akan berdampak positif pada kualitas pendidikan pada umumnya.
PENUTUP
Setiap orang harus membuka mata dan hatinya untuk merenungkan dan menyadari bahwa betapa berat tantangan hidup yang harus dihadapi oleh sosok seorang pendidik (UU RI N0. 20 tahun 2003, pasal 1, ayat 6). Dukungan jangan berhenti sampai di situ, tetapi setiap orang harus beraksi dan mengambil peran secara bersama-sama menurut kadar kemampuannya masing-masing untuk mengatasi tantangan yang dihadapi oleh pendidik. Kepada mereka para pendidiklah, masa depan dan peradaban bangsa ini dipertaruhkan.
Tugas kependidikan bukanlah suatu jenis pekerjaan yang dapat diserahkan begitu saja pada sembarang orang untuk melakukannya. Pekerjan itu, memerlukan keprofesionalan khusus yang sengaja dirancang untuk melakukannya. Oleh karena itu, tidak semua orang mampu melakukan tugas tersebut dan mampu memahami kuantitas dan kualitas tantangan yang harus dihadapi dan diatasi. Dengan demikian, hanya pendidiklah yang tahu persis kadar tantangannya, sehingga hanya mereka pulalah yang layak menyuarakannya kepada publik. Orang lain hanya mampu mencermati dari sisi luarnya saja, sehingga analisis terhadap kuantits dan kualitas tantangan kependidikan yang dipublikasikan kadang kurang tepat dan tidak menguntungkan bagi pihak pendidik.
Berkenaan dengan itu, penulis sebagai salah seorang dari sekian ribu pendidik mencoba menyuarakan suara hati pendidik berkenaan dengan tantangan yang dihadapi sosok pendidik dalam melaksanakan tugas kependidikannya. Ada tiga jenis tantangan utama yang harus dihadapi dan harus mampu diatasi sosok seorang pendidik dalam melaksanakan tugas kependidikannya, yakni: tantangan umum. tantangan sosial ekonomi dan tantangan profesi di lembaga pendidikan dalam menghidupi diri dan keluarganya. Untuk mengatasi ketiga tantangan tersebut tidaklah bijak jika seluruh upaya dibebankan hanya di atas pundak pendidik saja, tetapi wajib melibatkan partisipasi penuh dari pihak pemerintah, orang tua peserta didik dan masyarakat pada umumnya.
Ketidakmampuan sosok seorang pendidik dalam mengatasi ketiga jenis tantangan tersebut akan mengakibatkan rendahnya kualitas lulusan dan kualitas pendidikan pada umumnya, serta menurunnya nilai-nilai peradaban bangsa di masa depan. Akibatnya eksistansi bangsa ini secara budaya dan politik terancam punah. Oleh karena itu, mulai saat sekarang ini perbincangan dan upaya sebagai aksi solusi untuk mengatasi tantangan tugas kependidikan pendidik perlu segera dilakukan dan diintensifkan pelaksanaannya.
DAFTAR BACAAN
Anonim. 2003. Undang Undang Republik Indonesia tentang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS). Bandung: Citra Umbara.
DePorter, Bobbi dkk. 2003. Quantum Tearching: Mempraktekkan Quantum Learning di Ruang-ruang Kelas (terjemahan: Ary Nilalandari. 2000). Bandung: Kaifa, PT Mizan Pustaka.
Moh. Uzer Usman. 1994. Menjadi pendidik profesional. Bandung: PT Remaja Rosda Karya.
Mulyasa, E. 2003. Kurikulum berbasis kompetensi konsep, karakteristik dan implementasi. Bndung: PT. Remaja Rosdakarya.
____________ 2005. Menjadi Guru Profesional: Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan Menyenangkan. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.
Roestiyah, N.K. 1986. Masalah-masalah ilmu kependidikan. Jakarta: PT Bina Aksara.
Tilaar, H.A.R. (2000). Paradigma baru pendidikan nasional. Jakarta: Rineka Cipta.
Tim Editor Cemerlang Jakarta. 2006. Undang Undang Guru dan Dosen. Jakarta: Cemerlang.
Wibawa, Basuki. 2005. Pendidikan Teknologi dan Kejuruan: Manajemen dan Implementasinya di Era Otonomi. Surabaya: Kerta Jaya Duta Media.
Winarno Surakhmad. 1986. Pengantar interaksi belajar mengajar dasar dan teknik metodologi pengajaran, edisi ke V. Bandung: Tarsito.