Implementasi Pembelajaran Kontekstual di Sekolah Dasar
Penerapan pembelajaran kontekstual dalam kelas didasarkan pada komponen-komponen utama dalam pembelajaran kontekstual. Nurhadi (2004: 31) menyatakan tujuh komponen utama dalam pembelajaran kontekstual, yaitu: konstruktivisme, bertanya, menemukan, masyarakat belajar, pemodelan, refleksi, dan penilaian sebenarnya. Sebuah kelas dikatakan menggunakan pendekatan kontekstual jika menerapkan ketujuh komponen tersebut dalam pembelajarannya.
Penerapan komponen konstruktivisme dapat dilakukan dengan mengembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna jika bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan menkonstruksi sendiri pengetahuan dan ketrampilan yang diperolehnya. Hal ini mendorong guru untuk mengajar dengan cara konstriktivistik. Brooks dalam Nurhadi (2004: 40) menyatakan bahwa cirri-ciri guru yang telah mengajar secara konstruktivistik sebagai berikut.
• Guru adalah salah satu dari berbagai macam sumber belajar, bukan satu-satunya sumber belajar.
• Guru membawa siswa masuk kedalam pengalaman-pengalaman yang menentang konsepsi pengetahuan yang sudah ada dalam diri mereka.
• Guru membiarkan mereka berpikir setelah mereka disuguhi berbagai beragam pertanyaan dari guru.
• Guru menggunakan teknik bertanya untuk memancing siswa berdiskusi satu sama lain.
• Guru menggunakan istilah-istilah kognitif seperti: klasifikasikan, analisislah, dan ciptakanlah ketika merancang tugas-tugas.
• Guru membiarkan siswa bekerja secara otonom dan berinisiatif sendiri.
• Guru menggunakan data mentah dan sumber primer bersama-sama dengan bahan-bahan pelajaran yang dimanipulasi.
• Guru tidak memisahkan antara tahap pengetahuan dari proses menemukan.
• Guru mengusahakan siswa dapat mengkomunikasikan pemahaman mereka karena dengan begitu mereka benar-banar sudah belajar.
Penerapan komponen menemukan menjadi inti dari kegiatan pembelajaran yang berbasis kontekstual. Melalui proses menemukan sendiri, siswa tidak hanya menghafal konsep-konsep IPA tetapi mereka menemukan sendiri konsep tersebut, sehingga pembelajaran kontekstual akan memberikan kebermaknaan belajar pada siswa. Nurhadi (2004: 43) menyatakan bahwa kegiatan menemukan sebenarnya adalah sebuah siklus. Siklus ini terdiri dari beberapa langkah, yaitu: (1) merumuskan masalah, (2) mengumpulkam data melalui observasi, (3) menganalisis dan menyajikan data dalam tulisan, gambar, laporan bagan, tebel dan karya lainnya, dan (4) mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman sekelas, atau audiens yang lain.
Penerapan komponen bertanya didalam kelas perlu dilakukan. Komponen bertanya merupakan salah satu strategi dalam pembelajaran kontekstual. Bertanya merupakan suatu strategi yang dapat digunakan secara aktif oleh siswa untuk menganalisis dan mengeksplorasi gagasan-gagasan. Pertanyaan tersebut merangsang siswa untuk berfikir, berdiskusi, dan berspekulatif. Bagi guru, pertanyaan dapat digunakan guru untuk merangsang siswa berfikir, mengevaluasi belajar, memulai pengajaran, memperjelas gagasan dan meyakinkan apa yang diketahui siswa. Belajar dalam pembelajaran kontekstual dipandang sebagai upaya guru yang bisa mendorong siswa untuk mengetahui sesuatu, mengarahkan siswa untuk memperoleh informasi, serta mengetahui perkembangan kemampuan berpikir siswa. Dapat disimpulkan bahwa, bertanya adalah induk dari strategi pembelajaran konseptual dan aspek penting dalam pembelajaran.
Beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran yang berkaitan dengan komponen bertanya antara lain: (1) penggalian informasi lebih efektif apabila dilakukan melalui bertanya, (2) konfirmasi terhadap apa yang sudah diketahui lebih efektif melalui tanya jawab, (3) dalam rangka penambahan atau pemantapan pemahaman lebih efektif dilakukan lewat diskusi baik kelompok maupun kelas, dan (4) bertanya bagi siswa bisa mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa. Kegiatan bertanya dalam pembelajaran yang produktif berguna sebagai berikut: (1) menggali informasi, (2) mengecek pemahaman siswa, (3) membangkitkan respons siswa, (4) mengetahui kadar keingintahuan siswa, (5) mengetahui hal-hal yang diketahui siswa, (6) memfokuskan perhatian siswa agar sesuai yang dikehendaki guru, (7) membangkitkan lebih banyak pertanyaan bagi diri siswa, dan (8) menyegarkan pengetahuan siswa.
Penerapan komponen masyarakat belajar dapat dilaksanakan dengan menciptakan kegiatan pembelajaran berkelompok. Pembelajaran kontekstual membimbing siswa belajar secara berkelompok yang di dalamnya terjadi proses berbicara dan berbagi pengalaman dengan orang lain. Siswa dapat bekerja sama dengan orang lain untuk menciptakan pembelajaran yang lebih baik dibandingkan dengan belajar sendiri. Hasil belajar dari penerapan komponen ini adalah dapat diperoleh pertukaran pendapat antar teman, kelompok, dan antara yang tahu atau mengerti kepada yang tidak tahu atau mengerti. Karena itu, pembelajaran yang dikemas dalam berdiskusi kelompok yang anggotannya heterogen dengan jumlah yang bervariasi sangat mendukung komponen masyarakat belajar atau learning community.
Nurhadi (2004: 47) menyatakan bahwa komponen masyarakat belajar dapat diwujudkan dalam pembelajaran dengan: (1) belajar dalam pasangan, (2) pembentukan kelompok kecil, (3) pembentukan kelompok besar, (4) mendatang-kan ahli ke dalam kelas seperti: montir, dokter, dan petani, (5) bekerja kelompok dengan kelas sederajat, (6) bekerja kelompok dengan kelas di atasnya, (7) bekerja dengan sekolah diatasnya, dan (8) bekerja dengan masyarakat. Istiqomah, Lailatul (2009: 32) menyatakan prinsip-prinsip pembelajaran masyarakat belajar yaitu: (1) hasil belajar diperoleh dari kerja sama atau tukar pikiran dengan pihak lain, (2) tukar pendapat terjadi apabila ada pihak yang saling memberi dan saling menerima informasi, (3) tukar pendapat terjadi apabila ada komunikasi dua atau multi arah, (4) masyarakat belajar terjadi apabila masing-masing pihak yang terlibat didalamnya sadar bahwa pengetahuan, pengalaman, dan ketrampilan yang dimilikinya bermanfaat bagi yang lain, dan (5) yang terlibat dadlam masyarakat belajar pada dasarnya bisa menjadi sumber belajar.
Pemodelan berarti dalam kegiatan belajar mengajar ada model yang bisa ditiru oleh siswa. Pemodelan pada dasarnya membahaskan gagasan yang dipikirkan, mendemonstrasikan, bagaimana guru menginginkan siswanya untuk belajar, dan melakukan apa yang guru inginkan agar siswa-siswanya melakukan. Pemodelan dapat berbentuk demonstrasi, menunjukkan hasil karya, mempertonto suatu penampilan, pemberian contoh tentang konsep atau aktivitas belajar. Cara pembelajaran seperti ini akan lebih cepat dipahami siswa daripada hanya bercerita atau memberikan penjelasan kepada siswa tanpa ditunjukkan modelnya atau contohnya. Dalam pembelajaran konsektual guru bukan satu-satunya model. Model dapat berupa siswa sendiri atau seseorang yang dianggap memiliki kemampuan lebih pada suatu materi tertentu.
Refleksi merupakan cara berfikir tentang apa yang telah dipelajari. Refleksi juga merupakan gambaran terhadap kegiatan atau pengetahuan yang baru saja diterima oleh siswa. Pengetahuan baru tersebut kemudian ditelaah dan direspon oleh siswa. Sehingga melalui kegiatan refleksi, siswa dapat menghubungkan pengetahuan yang dimiliki sebelumnya dengan pengetahuan yang baru. Dengan demikian, refleksi merupakan pemikiran atau perenungan kembali apa yang baru saja dipelajari, menelaah dan merespon semua kejadian, aktivitas atau pengalaman yang terjadi dalam pembelajaran, bahkan memberikan masukan atau saran jika diperlukan. Siswa akan menyadari bahwa pengetahuan yang baru diperolehnya merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Kesadaran seperti itu penting ditanamkan kepada siswa agar ia bersikap terbuka terhadap pengetahuan-pengetahuan baru. Nurhadi (2004: 51) menyatakan realisasi kegiatan refleksi dapat berupa: (1) pernyataan langsung tentang apa yang diperoleh hari itu, (2) catatan atau jurnal di buku siswa, (3) kesan dan saran siswa mengenai pembelajaran hari itu, (4) diskusi dan hasil karya, (5) cara-cara lain yang ditempuh guru untuk mengarahkan siswa kepada pemahaman mereka tentang materi yang dipelajari.
Penilaian yang sebenarnya atau authentic assessment merupakan penilaian yang digunakan dalam pembelajaran kontekstual. Authentic assessment adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran atau informasi tentang perkembangan pengalaman belajar siswa. Gambaran perkembangan pengalaman siswa perlu diketahui guru setiap saat agar bisa memastikan benar tidaknya proses belajar siswa. Dengan demikian, penilaian authentic diarahkan pada proses mengamati, menganalisa, dan menafsirkan data yang telah terkumpul ketika atau dalam proses pembelajaran siswa berlangsung, bukan hanya pada hasil pembelajaran.
Nurhadi (2004: 52) menyebutkan beberapa ciri dari penilaian authentic assessment sebagai berikut: (1) harus mengukur semua aspek pembelajaran yaitu proses, kinerja dan produk, (2) dilaksanakan selama dan sesudah pembelajaran berlangsung, (3) menggunakan berbagai cara dan berbagai sumber, (4) tes hanya salah satu alat pengumpul data penilaian, (5) tugas-tugas yang diberikan kepada siswa harus mencerminkan bagian-bagian kehidupan siswa yang nyata setiap hari, mereka harus menceritakan pengalaman atau kegiatan yang mereka lakukan setiap hari, dan (6) penilaian harus menekankan kedalaman pengetahuan dan keahlian siswa bukan keluasannya atau kuantitasnya. Istiqomah, Lailatul (2009: 33) menyebutukan prinsip-prinsip penilaian autentik dalam pembelajaran sebagai berikut: (1) penilaian autentik bukan menghakimi siswa tetapi untuk mengetahui perkembangan pengalaman belajar siswa, (2) penilaian dilakukan secara komprehensif dan seimbang antara penilaian proses dan hasil, (3) guru menjadi penilai yang konstruktif yang dapat merefleksikan bagaimana siswa belajar, bagaimana siswa menghubungkan apa yang mereka ketahui dengan berbagai konteks, dan bagimana perkembangan belajar siswa dalam berbagai konteks, (4) penilaian autentik memberikan kesempatan siswa untuk dapat mengembangkan penilaian sendiri atau self assessment dan penilaian sesame atau peer assessment, dan (5) penilaian dapat dimanfaatkan untuk mendiagnosis kesulitan belajar.
Penerapan komponen konstruktivisme dapat dilakukan dengan mengembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna jika bekerja sendiri, menemukan sendiri, dan menkonstruksi sendiri pengetahuan dan ketrampilan yang diperolehnya. Hal ini mendorong guru untuk mengajar dengan cara konstriktivistik. Brooks dalam Nurhadi (2004: 40) menyatakan bahwa cirri-ciri guru yang telah mengajar secara konstruktivistik sebagai berikut.
• Guru adalah salah satu dari berbagai macam sumber belajar, bukan satu-satunya sumber belajar.
• Guru membawa siswa masuk kedalam pengalaman-pengalaman yang menentang konsepsi pengetahuan yang sudah ada dalam diri mereka.
• Guru membiarkan mereka berpikir setelah mereka disuguhi berbagai beragam pertanyaan dari guru.
• Guru menggunakan teknik bertanya untuk memancing siswa berdiskusi satu sama lain.
• Guru menggunakan istilah-istilah kognitif seperti: klasifikasikan, analisislah, dan ciptakanlah ketika merancang tugas-tugas.
• Guru membiarkan siswa bekerja secara otonom dan berinisiatif sendiri.
• Guru menggunakan data mentah dan sumber primer bersama-sama dengan bahan-bahan pelajaran yang dimanipulasi.
• Guru tidak memisahkan antara tahap pengetahuan dari proses menemukan.
• Guru mengusahakan siswa dapat mengkomunikasikan pemahaman mereka karena dengan begitu mereka benar-banar sudah belajar.
Penerapan komponen menemukan menjadi inti dari kegiatan pembelajaran yang berbasis kontekstual. Melalui proses menemukan sendiri, siswa tidak hanya menghafal konsep-konsep IPA tetapi mereka menemukan sendiri konsep tersebut, sehingga pembelajaran kontekstual akan memberikan kebermaknaan belajar pada siswa. Nurhadi (2004: 43) menyatakan bahwa kegiatan menemukan sebenarnya adalah sebuah siklus. Siklus ini terdiri dari beberapa langkah, yaitu: (1) merumuskan masalah, (2) mengumpulkam data melalui observasi, (3) menganalisis dan menyajikan data dalam tulisan, gambar, laporan bagan, tebel dan karya lainnya, dan (4) mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya pada pembaca, teman sekelas, atau audiens yang lain.
Penerapan komponen bertanya didalam kelas perlu dilakukan. Komponen bertanya merupakan salah satu strategi dalam pembelajaran kontekstual. Bertanya merupakan suatu strategi yang dapat digunakan secara aktif oleh siswa untuk menganalisis dan mengeksplorasi gagasan-gagasan. Pertanyaan tersebut merangsang siswa untuk berfikir, berdiskusi, dan berspekulatif. Bagi guru, pertanyaan dapat digunakan guru untuk merangsang siswa berfikir, mengevaluasi belajar, memulai pengajaran, memperjelas gagasan dan meyakinkan apa yang diketahui siswa. Belajar dalam pembelajaran kontekstual dipandang sebagai upaya guru yang bisa mendorong siswa untuk mengetahui sesuatu, mengarahkan siswa untuk memperoleh informasi, serta mengetahui perkembangan kemampuan berpikir siswa. Dapat disimpulkan bahwa, bertanya adalah induk dari strategi pembelajaran konseptual dan aspek penting dalam pembelajaran.
Beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dalam pembelajaran yang berkaitan dengan komponen bertanya antara lain: (1) penggalian informasi lebih efektif apabila dilakukan melalui bertanya, (2) konfirmasi terhadap apa yang sudah diketahui lebih efektif melalui tanya jawab, (3) dalam rangka penambahan atau pemantapan pemahaman lebih efektif dilakukan lewat diskusi baik kelompok maupun kelas, dan (4) bertanya bagi siswa bisa mendorong, membimbing, dan menilai kemampuan berpikir siswa. Kegiatan bertanya dalam pembelajaran yang produktif berguna sebagai berikut: (1) menggali informasi, (2) mengecek pemahaman siswa, (3) membangkitkan respons siswa, (4) mengetahui kadar keingintahuan siswa, (5) mengetahui hal-hal yang diketahui siswa, (6) memfokuskan perhatian siswa agar sesuai yang dikehendaki guru, (7) membangkitkan lebih banyak pertanyaan bagi diri siswa, dan (8) menyegarkan pengetahuan siswa.
Penerapan komponen masyarakat belajar dapat dilaksanakan dengan menciptakan kegiatan pembelajaran berkelompok. Pembelajaran kontekstual membimbing siswa belajar secara berkelompok yang di dalamnya terjadi proses berbicara dan berbagi pengalaman dengan orang lain. Siswa dapat bekerja sama dengan orang lain untuk menciptakan pembelajaran yang lebih baik dibandingkan dengan belajar sendiri. Hasil belajar dari penerapan komponen ini adalah dapat diperoleh pertukaran pendapat antar teman, kelompok, dan antara yang tahu atau mengerti kepada yang tidak tahu atau mengerti. Karena itu, pembelajaran yang dikemas dalam berdiskusi kelompok yang anggotannya heterogen dengan jumlah yang bervariasi sangat mendukung komponen masyarakat belajar atau learning community.
Nurhadi (2004: 47) menyatakan bahwa komponen masyarakat belajar dapat diwujudkan dalam pembelajaran dengan: (1) belajar dalam pasangan, (2) pembentukan kelompok kecil, (3) pembentukan kelompok besar, (4) mendatang-kan ahli ke dalam kelas seperti: montir, dokter, dan petani, (5) bekerja kelompok dengan kelas sederajat, (6) bekerja kelompok dengan kelas di atasnya, (7) bekerja dengan sekolah diatasnya, dan (8) bekerja dengan masyarakat. Istiqomah, Lailatul (2009: 32) menyatakan prinsip-prinsip pembelajaran masyarakat belajar yaitu: (1) hasil belajar diperoleh dari kerja sama atau tukar pikiran dengan pihak lain, (2) tukar pendapat terjadi apabila ada pihak yang saling memberi dan saling menerima informasi, (3) tukar pendapat terjadi apabila ada komunikasi dua atau multi arah, (4) masyarakat belajar terjadi apabila masing-masing pihak yang terlibat didalamnya sadar bahwa pengetahuan, pengalaman, dan ketrampilan yang dimilikinya bermanfaat bagi yang lain, dan (5) yang terlibat dadlam masyarakat belajar pada dasarnya bisa menjadi sumber belajar.
Pemodelan berarti dalam kegiatan belajar mengajar ada model yang bisa ditiru oleh siswa. Pemodelan pada dasarnya membahaskan gagasan yang dipikirkan, mendemonstrasikan, bagaimana guru menginginkan siswanya untuk belajar, dan melakukan apa yang guru inginkan agar siswa-siswanya melakukan. Pemodelan dapat berbentuk demonstrasi, menunjukkan hasil karya, mempertonto suatu penampilan, pemberian contoh tentang konsep atau aktivitas belajar. Cara pembelajaran seperti ini akan lebih cepat dipahami siswa daripada hanya bercerita atau memberikan penjelasan kepada siswa tanpa ditunjukkan modelnya atau contohnya. Dalam pembelajaran konsektual guru bukan satu-satunya model. Model dapat berupa siswa sendiri atau seseorang yang dianggap memiliki kemampuan lebih pada suatu materi tertentu.
Refleksi merupakan cara berfikir tentang apa yang telah dipelajari. Refleksi juga merupakan gambaran terhadap kegiatan atau pengetahuan yang baru saja diterima oleh siswa. Pengetahuan baru tersebut kemudian ditelaah dan direspon oleh siswa. Sehingga melalui kegiatan refleksi, siswa dapat menghubungkan pengetahuan yang dimiliki sebelumnya dengan pengetahuan yang baru. Dengan demikian, refleksi merupakan pemikiran atau perenungan kembali apa yang baru saja dipelajari, menelaah dan merespon semua kejadian, aktivitas atau pengalaman yang terjadi dalam pembelajaran, bahkan memberikan masukan atau saran jika diperlukan. Siswa akan menyadari bahwa pengetahuan yang baru diperolehnya merupakan pengayaan atau revisi dari pengetahuan yang telah dimiliki sebelumnya. Kesadaran seperti itu penting ditanamkan kepada siswa agar ia bersikap terbuka terhadap pengetahuan-pengetahuan baru. Nurhadi (2004: 51) menyatakan realisasi kegiatan refleksi dapat berupa: (1) pernyataan langsung tentang apa yang diperoleh hari itu, (2) catatan atau jurnal di buku siswa, (3) kesan dan saran siswa mengenai pembelajaran hari itu, (4) diskusi dan hasil karya, (5) cara-cara lain yang ditempuh guru untuk mengarahkan siswa kepada pemahaman mereka tentang materi yang dipelajari.
Penilaian yang sebenarnya atau authentic assessment merupakan penilaian yang digunakan dalam pembelajaran kontekstual. Authentic assessment adalah proses pengumpulan berbagai data yang bisa memberikan gambaran atau informasi tentang perkembangan pengalaman belajar siswa. Gambaran perkembangan pengalaman siswa perlu diketahui guru setiap saat agar bisa memastikan benar tidaknya proses belajar siswa. Dengan demikian, penilaian authentic diarahkan pada proses mengamati, menganalisa, dan menafsirkan data yang telah terkumpul ketika atau dalam proses pembelajaran siswa berlangsung, bukan hanya pada hasil pembelajaran.
Nurhadi (2004: 52) menyebutkan beberapa ciri dari penilaian authentic assessment sebagai berikut: (1) harus mengukur semua aspek pembelajaran yaitu proses, kinerja dan produk, (2) dilaksanakan selama dan sesudah pembelajaran berlangsung, (3) menggunakan berbagai cara dan berbagai sumber, (4) tes hanya salah satu alat pengumpul data penilaian, (5) tugas-tugas yang diberikan kepada siswa harus mencerminkan bagian-bagian kehidupan siswa yang nyata setiap hari, mereka harus menceritakan pengalaman atau kegiatan yang mereka lakukan setiap hari, dan (6) penilaian harus menekankan kedalaman pengetahuan dan keahlian siswa bukan keluasannya atau kuantitasnya. Istiqomah, Lailatul (2009: 33) menyebutukan prinsip-prinsip penilaian autentik dalam pembelajaran sebagai berikut: (1) penilaian autentik bukan menghakimi siswa tetapi untuk mengetahui perkembangan pengalaman belajar siswa, (2) penilaian dilakukan secara komprehensif dan seimbang antara penilaian proses dan hasil, (3) guru menjadi penilai yang konstruktif yang dapat merefleksikan bagaimana siswa belajar, bagaimana siswa menghubungkan apa yang mereka ketahui dengan berbagai konteks, dan bagimana perkembangan belajar siswa dalam berbagai konteks, (4) penilaian autentik memberikan kesempatan siswa untuk dapat mengembangkan penilaian sendiri atau self assessment dan penilaian sesame atau peer assessment, dan (5) penilaian dapat dimanfaatkan untuk mendiagnosis kesulitan belajar.