Sertifikasi Guru Masih Abu-abu
Certification di dalam kamus WordWeb didefinisikan sebagai “validating the authenticity of something or someone”. Berdasarkan definisi tersebut, sertifikasi profesi guru dapat dipahami sebagai proses validasi (uji sahih) kompetensi guru. Seorang guru yang lulus dalam sertifikasi akan mendapat sertifikat pendidik. Menurut UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen maupun PP Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru, sertifikat pendidik adalah bukti formal sebagai pengakuan yang diberikan kepada guru sebagai tenaga profesional.
Mekanisme sertifikasi guru diatur secara rinci di dalam PP 74/2008. Sertifikasi bagi calon guru ditempuh melalui pendidikan profesi guru (PPG) di perguruan tinggi yang “direstui” oleh Pemerintah. Bagi guru dalam jabatan, sertifikasi ditempuh melalui uji kompetensi dalam bentuk penilaian portofolio. Bila belum mencapai persyaratan uji kompetensi—semacam passing grade—guru dapat menempuh program remedial dengan dua alternatif: (1) melengkapi persyaratan protofolio; atau (2) mengikuti pendidikan dan pelatihan guru (PLPG).
Kelemahan Portofolio
Pada masa awal penyelenggaraan sertifikasi, sebagian besar guru dalam jabatan berhasil memperoleh sertifikat melalui penilaian portofolio. Memasuki tahun kedua atau ketiga, pola ini mulai menuai banyak kritik dari kalangan pengamat, praktisi, dan pakar pendidikan. Yang memprihatinkan, kritik itu dipicu oleh indikasi (atau, temuan?) adanya praktik-praktik manipulasi dalam proses pengumpulan dokumen portofolio. Kecurangan itu dapat dilakukan dengan aneka modus: penggandaan, penjiplakan, dan jual-beli dokumen.
Teknologi digital memungkinkan orang melakukan “kloning” dokumen dengan sangat mudah. Sehelai piagam atau sertifikat bukti keikutsertaan dalam forum ilmiah atau bahkan pendidikan dan pelatihan (diklat) dapat digandakan dan dimiliki secara berjamaah hanya dengan mengganti identitas pemegangnya. Silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) dalam sekejap bisa beredar ke segenap penjuru negeri. Setiap orang bisa memilikinya hanya dengan dua kali klik: copy lalu paste. Langkah berikutnya, tiap-tiap pemilik itu tinggal mengganti identitas diri dan institusinya.
Karya tulis ilmiah pun mengalami nasib serupa. Ada modus penggandaan massal secara sukarela. Ini biasanya dilakukan secara berkelompok dan terjadi barter karya tulis antaranggota. Ada pula yang memakai modus penjiplakan tanpa setahu penulis atau pemilik karya. Bagi yang merasa kedua cara itu masih sulit, ada cara yang lebih simpel: membeli. Cukup dengan mengangkat telepon atau menulis SMS, dalam hitungan jam orang bisa mendapatkan karya tulis sebanyak judul dan dalam bidang yang dikehendaki.
Karya tulis bukan satu-satunya komoditas dalam perdagangan dokumen portofolio. Piagam keikutsertaan dalam forum ilmiah dan sertifikat diklat pun sempat menjadi komoditas yang paling laris di kalangan guru. Tidak tanggung-tanggung, sebuah organisasi profesi di bidang kependidikan tingkat pusat rela berkeliling sejumlah kota untuk menjajakan sertifikat bertajuk diklat nasional. Lebih naif lagi, “pelacuran” diklat ini melibatkan sejumlah oknum dosen perguruan tinggi negeri penyelenggara program pengadaan tenaga kependidikan.
Entah sekadar kebetulan atau memang sebagai dampak, pergantian Menteri segera diikuti oleh perubahan kebijakan menyangkut sertifikasi guru. Sejak periode sertifikasi 2011, tidak ada lagi guru yang langsung memperoleh sertifikat pendidik hanya melalui penilaian portofolio. Semua guru peserta sertifikasi wajib menjalani PLPG.
Mampukah revisi ini membasmi “maksiat” di seputar sertifikasi guru? Setidaknya, kewajiban bagi semua peserta sertifikasi untuk mengikuti PLPG itu mampu meredam nafsu para guru untuk berburu dokumen portofolio demi mengejar passing grade. Kalaupun tidak mampu menghilangkan sama sekali, perubahan mekanisme tersebut terbukti jitu dalam menurunkan frekuensi kasus manipulasi dokumen portofolio. Publikasi undangan seminar, lokakarya, atau diklat untuk guru—yang dulu sempat menjamur di berbagai media—kini berangsur normal kembali.
Langkah ini punya nilai kemaslahatan yang cukup bermakna, mengingat dokumen portofolio itu berfungsi sebagai rapor kompetensi guru peserta sertifikasi. Arti penting penghapusan jalur portofolio murni itu akan kentara bila dirunut rantai nilai hukumnya. Bagaimana autentisitas sertifikat pendidik yang diperoleh berkat “jasa” berjilid-jilid dokumen portofolio yang dikoleksi secara curang? Jika sertifikat pendidik tersebut kelak berbuah tunjangan profesi, lalu bagaimana nilai kehalalan uang sebesar gaji pokok yang diterima setiap bulan itu?
Titik Simpangan
Kecurangan dalam pemerolehan dokumen portofolio bukan satu-satunya fakta yang mencederai sertifikasi guru. Walau harus diakui lebih bermakna daripada jalur portofolio murni, PLPG sendiri masih menyisakan keraguan akan efektivitasnya. Pertanyaan usil bisa diajukan, misalnya, sejauh mana diklat selama sepuluh hari itu mampu mengantarkan para peserta meraih kompetensi yang dipersyaratkan untuk menerima sebutan pendidik profesional? Atau, yang lebih sederhana, seberapa intensif interaksi instruktur-peserta selama masa PLPG sehingga instruktur mampu menilai secara autentik kompetensi peserta?
Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 mengamanatkan bahwa guru harus memiliki, menghayati, menguasai, dan mengaktualisasikan empat kompetensi. Keempatnya adalah kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Ditilik indikator pencapaiannya, rasanya mustahil empat kompetensi tersebut dapat dinilai secara autentik dalam waktu sesingkat itu. Apalagi jika diingat bahwa sejumlah indikator tidak mungkin teraktualisasi di ruang PLPG. Jika penilaian yang dipakai untuk menguji kompetensi hanya bersifat superfisial dan artifisial, lantas bagaimana bobot kesahihan sertifikat yang dihasilkan?
Sertifikasi guru juga menyimpan potensi konflik, baik vertikal maupun horizontal. Konflik vertikal dipicu oleh sedikitnya dua hal: penetapan peserta dan penyaluran tunjangan. Penetapan peserta sertifikasi sering menimbulkan ketidakpuasan karena prioritas pemeringkatannya kurang terpahami oleh para guru yang sudah mengantre. Dari tahun ke tahun tidak sedikit guru senior yang harus menelan pil pahit kekecewaan karena merasa tersalip oleh juniornya.
Mekanisme penyaluran tunjangan profesi untuk guru yang sudah bersertifikat juga tak kunjung jernih. Janji-janji Pemerintah untuk memenuhi hak para pendidik yang sudah menyandang predikat profesional secara tepat waktu selalu saja terasa sebagai isapan jempol belaka. Setiap kali terjadi keterlambatan pencairan tunjangan profesi, selalu ditanggapi dengan saling melempar kesalahan antara birokrasi pusat dan daerah. Tak ayal, karut-marut birokrasi ini mengundang tanggapan carut-marut di aras akar rumput.
Pencetus konflik horizontal antarguru intern satuan pendidikan adalah regulasi menyangkut kriteria guru yang berhak menerima tunjangan profesi. Guru bersertifikat pendidik tidak serta-merta berhak menikmati penghasilan ganda. Kuota beban mengajar minimal 24 jam pelajaran per minggu tidak selalu dapat dipenuhi oleh setiap guru. Alokasi jam tatap muka tiap mata pelajaran per kelas per minggu sudah diatur di dalam struktur kurikulum.
Benturan antarregulasi itulah yang menyeret pimpinan sekolah ke situasi dilematik. Demi meredam ketegangan antarguru, biasanya kepala sekolah terpaksa “kreatif”. Guru-guru yang mengalami “paceklik” jam mengajar diberi tugas tambahan, yang kadang-kadang diada-adakan. Lagi-lagi, sertifikasi menjelma sebagai jebakan kedustaan bagi kalangan pendidik, yang nota bene kurator karakter anak bangsa.
Jika dirunut secara jeli, karut-marut sertifikasi guru itu berpangkal pada bias orientasinya. Babak baru dalam sejarah keguruan kita ini berorientasi pada kualitas profesionalisme atau kesejahteraan guru? Jika perbaikan kesejahteraan yang dibidik, renumerasi layak dipertimbangkan sebagai solusi yang lebih sederhana. Jika sasarannya peningkatan kompetensi, sertifikasi guru mesti diimplementasikan secara meritokratik. ***
Ditulis dan dikirim oleh: Teguh Gw
Penulis adalah guru di SD Islam Hidayatullah Semarang
Mekanisme sertifikasi guru diatur secara rinci di dalam PP 74/2008. Sertifikasi bagi calon guru ditempuh melalui pendidikan profesi guru (PPG) di perguruan tinggi yang “direstui” oleh Pemerintah. Bagi guru dalam jabatan, sertifikasi ditempuh melalui uji kompetensi dalam bentuk penilaian portofolio. Bila belum mencapai persyaratan uji kompetensi—semacam passing grade—guru dapat menempuh program remedial dengan dua alternatif: (1) melengkapi persyaratan protofolio; atau (2) mengikuti pendidikan dan pelatihan guru (PLPG).
Kelemahan Portofolio
Pada masa awal penyelenggaraan sertifikasi, sebagian besar guru dalam jabatan berhasil memperoleh sertifikat melalui penilaian portofolio. Memasuki tahun kedua atau ketiga, pola ini mulai menuai banyak kritik dari kalangan pengamat, praktisi, dan pakar pendidikan. Yang memprihatinkan, kritik itu dipicu oleh indikasi (atau, temuan?) adanya praktik-praktik manipulasi dalam proses pengumpulan dokumen portofolio. Kecurangan itu dapat dilakukan dengan aneka modus: penggandaan, penjiplakan, dan jual-beli dokumen.
Teknologi digital memungkinkan orang melakukan “kloning” dokumen dengan sangat mudah. Sehelai piagam atau sertifikat bukti keikutsertaan dalam forum ilmiah atau bahkan pendidikan dan pelatihan (diklat) dapat digandakan dan dimiliki secara berjamaah hanya dengan mengganti identitas pemegangnya. Silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) dalam sekejap bisa beredar ke segenap penjuru negeri. Setiap orang bisa memilikinya hanya dengan dua kali klik: copy lalu paste. Langkah berikutnya, tiap-tiap pemilik itu tinggal mengganti identitas diri dan institusinya.
Karya tulis ilmiah pun mengalami nasib serupa. Ada modus penggandaan massal secara sukarela. Ini biasanya dilakukan secara berkelompok dan terjadi barter karya tulis antaranggota. Ada pula yang memakai modus penjiplakan tanpa setahu penulis atau pemilik karya. Bagi yang merasa kedua cara itu masih sulit, ada cara yang lebih simpel: membeli. Cukup dengan mengangkat telepon atau menulis SMS, dalam hitungan jam orang bisa mendapatkan karya tulis sebanyak judul dan dalam bidang yang dikehendaki.
Karya tulis bukan satu-satunya komoditas dalam perdagangan dokumen portofolio. Piagam keikutsertaan dalam forum ilmiah dan sertifikat diklat pun sempat menjadi komoditas yang paling laris di kalangan guru. Tidak tanggung-tanggung, sebuah organisasi profesi di bidang kependidikan tingkat pusat rela berkeliling sejumlah kota untuk menjajakan sertifikat bertajuk diklat nasional. Lebih naif lagi, “pelacuran” diklat ini melibatkan sejumlah oknum dosen perguruan tinggi negeri penyelenggara program pengadaan tenaga kependidikan.
Entah sekadar kebetulan atau memang sebagai dampak, pergantian Menteri segera diikuti oleh perubahan kebijakan menyangkut sertifikasi guru. Sejak periode sertifikasi 2011, tidak ada lagi guru yang langsung memperoleh sertifikat pendidik hanya melalui penilaian portofolio. Semua guru peserta sertifikasi wajib menjalani PLPG.
Mampukah revisi ini membasmi “maksiat” di seputar sertifikasi guru? Setidaknya, kewajiban bagi semua peserta sertifikasi untuk mengikuti PLPG itu mampu meredam nafsu para guru untuk berburu dokumen portofolio demi mengejar passing grade. Kalaupun tidak mampu menghilangkan sama sekali, perubahan mekanisme tersebut terbukti jitu dalam menurunkan frekuensi kasus manipulasi dokumen portofolio. Publikasi undangan seminar, lokakarya, atau diklat untuk guru—yang dulu sempat menjamur di berbagai media—kini berangsur normal kembali.
Langkah ini punya nilai kemaslahatan yang cukup bermakna, mengingat dokumen portofolio itu berfungsi sebagai rapor kompetensi guru peserta sertifikasi. Arti penting penghapusan jalur portofolio murni itu akan kentara bila dirunut rantai nilai hukumnya. Bagaimana autentisitas sertifikat pendidik yang diperoleh berkat “jasa” berjilid-jilid dokumen portofolio yang dikoleksi secara curang? Jika sertifikat pendidik tersebut kelak berbuah tunjangan profesi, lalu bagaimana nilai kehalalan uang sebesar gaji pokok yang diterima setiap bulan itu?
Titik Simpangan
Kecurangan dalam pemerolehan dokumen portofolio bukan satu-satunya fakta yang mencederai sertifikasi guru. Walau harus diakui lebih bermakna daripada jalur portofolio murni, PLPG sendiri masih menyisakan keraguan akan efektivitasnya. Pertanyaan usil bisa diajukan, misalnya, sejauh mana diklat selama sepuluh hari itu mampu mengantarkan para peserta meraih kompetensi yang dipersyaratkan untuk menerima sebutan pendidik profesional? Atau, yang lebih sederhana, seberapa intensif interaksi instruktur-peserta selama masa PLPG sehingga instruktur mampu menilai secara autentik kompetensi peserta?
Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 mengamanatkan bahwa guru harus memiliki, menghayati, menguasai, dan mengaktualisasikan empat kompetensi. Keempatnya adalah kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan kompetensi profesional. Ditilik indikator pencapaiannya, rasanya mustahil empat kompetensi tersebut dapat dinilai secara autentik dalam waktu sesingkat itu. Apalagi jika diingat bahwa sejumlah indikator tidak mungkin teraktualisasi di ruang PLPG. Jika penilaian yang dipakai untuk menguji kompetensi hanya bersifat superfisial dan artifisial, lantas bagaimana bobot kesahihan sertifikat yang dihasilkan?
Sertifikasi guru juga menyimpan potensi konflik, baik vertikal maupun horizontal. Konflik vertikal dipicu oleh sedikitnya dua hal: penetapan peserta dan penyaluran tunjangan. Penetapan peserta sertifikasi sering menimbulkan ketidakpuasan karena prioritas pemeringkatannya kurang terpahami oleh para guru yang sudah mengantre. Dari tahun ke tahun tidak sedikit guru senior yang harus menelan pil pahit kekecewaan karena merasa tersalip oleh juniornya.
Mekanisme penyaluran tunjangan profesi untuk guru yang sudah bersertifikat juga tak kunjung jernih. Janji-janji Pemerintah untuk memenuhi hak para pendidik yang sudah menyandang predikat profesional secara tepat waktu selalu saja terasa sebagai isapan jempol belaka. Setiap kali terjadi keterlambatan pencairan tunjangan profesi, selalu ditanggapi dengan saling melempar kesalahan antara birokrasi pusat dan daerah. Tak ayal, karut-marut birokrasi ini mengundang tanggapan carut-marut di aras akar rumput.
Pencetus konflik horizontal antarguru intern satuan pendidikan adalah regulasi menyangkut kriteria guru yang berhak menerima tunjangan profesi. Guru bersertifikat pendidik tidak serta-merta berhak menikmati penghasilan ganda. Kuota beban mengajar minimal 24 jam pelajaran per minggu tidak selalu dapat dipenuhi oleh setiap guru. Alokasi jam tatap muka tiap mata pelajaran per kelas per minggu sudah diatur di dalam struktur kurikulum.
Benturan antarregulasi itulah yang menyeret pimpinan sekolah ke situasi dilematik. Demi meredam ketegangan antarguru, biasanya kepala sekolah terpaksa “kreatif”. Guru-guru yang mengalami “paceklik” jam mengajar diberi tugas tambahan, yang kadang-kadang diada-adakan. Lagi-lagi, sertifikasi menjelma sebagai jebakan kedustaan bagi kalangan pendidik, yang nota bene kurator karakter anak bangsa.
Jika dirunut secara jeli, karut-marut sertifikasi guru itu berpangkal pada bias orientasinya. Babak baru dalam sejarah keguruan kita ini berorientasi pada kualitas profesionalisme atau kesejahteraan guru? Jika perbaikan kesejahteraan yang dibidik, renumerasi layak dipertimbangkan sebagai solusi yang lebih sederhana. Jika sasarannya peningkatan kompetensi, sertifikasi guru mesti diimplementasikan secara meritokratik. ***
Ditulis dan dikirim oleh: Teguh Gw
Penulis adalah guru di SD Islam Hidayatullah Semarang