Guru Apatis, 'Kalah' dari Siswa, dan Takut UU PA
Guru yang lebih peduli terhadap siswanya adalah guru yang mengemban amanah yang sebenarnya. |
Guru “kalah” dari siswa
Betapa tragisnya seorang guru jika dia telah “kalah” oleh siswanya sendiri. “Kalah” dalam artian tak mampu lagi mengarahkan siswa. Guru tak boleh “kalah” dari siswanya. Tak ada kata habis dan berhenti dalam melakukan pembinaan terhadap siswa oleh guru. Guru punya 1001 macam teknik yang dapat digunakan dalam membimbing siswa. Jika seorang guru menghadapi siswa yang bandel, dan telah melakukan dua tiga pendekatan tapi belum berhasil, maka guru tersebut harus melakukan empat lima pendekatan lainnya, dan seterusnya. Jika memang siswa itu masih anak normal, maka pasti ada jalan keluar dari semua permasalahannya.
Jika di sekolah menengah ada guru pembimbing yang fungsinya secara singkat untuk lebih memberikan kepedulian terhadap siswa, maka tidaklah elok jika permasalahan kenakalan siswa sampai pada pihak berwajib atau kepolisian. Apalagi, jika kenakalan tersebut terjadi pada siswa sekolah dasar. Sepanjang kenakalan atau kejahatan itu terjadi di sekolah pada jam sekolah, maka harus mampu diselesaikan oleh guru. Guru sejatinya tidak mengalihkan tanggungjawabnya, yakni melakukan pembinaan siswanya, kepada pihak lainnya, seperti polisi.
Guru sejatinya harus selalu menunjuk dirinya, dari apa yang terlihat pada siswa. Tidak hanya yang positif belaka, tetapi juga yang negatif. Guru tak elok mencari “kambing hitam” terhadap prilaku siswa yang melenceng, meskipun lebih banyak waktu siswa dihabiskan di luar sekolah. Intinya adalah kepedulian. Sejauh mana seorang guru telah peduli kepada “anaknya” tersebut. Yah, anaknya. Guru harus menganggap siswa sebagai anak kandungnya, sehingga didikan, ajaran, serta bimbingan yang diberikan terjamin kesungguhan dan keikhlasannya.
Takut UU PA
Undang-undang Perlindungan Anak (UU PA) sering menjadi alasan, guru tak lagi peduli terhadap siswa karena takut UU PA. Padahal, UU PA hanya melarang guru melakukan kekerasan pisik dan psikis terhadap anak (siswa), sesuatu yang memang harus dihindai oleh guru. Peduli terhadap siswa, sama sekali tidak identik dengan kekerasan itu. Tidak satupun metode mengajar atau membimbing siswa yang melegalkan kekerasan, meskipun hukuman tetap bisa dilakukan. Tak ada satupun ahli pendidikan dan juga regulasi termasuk UU PA yang melarang guru menghukum siswa. Hanya saja, masih ada guru yang menganalogikan hukuman harus dengan kekerasan pisik atau psikis. Itulah yang dilarang.
Terlepas dari itu semua, UU PA juga semakin memberikan ruang kepada guru apatis. Bukan takut terhadap UU PA, tetapi sudah ada alasan pembenaran terhadap sikapnya yang apatis kepada siswa. Guru apatis cenderung hanya menggugurkan kewajiban dan setiap awal bulan siap terima gaji dan tunjangan profesi. Tak ada “kegelisahan” terhadap teknik mengajar, alat peraga yang digunakan, kedalaman materi, tingkat penerimaan siswa, serta sikap dan prilaku siswanya. Tak ada interaksi psikologis antara guru dengan siswa. Interaksi monoton dan kaku serta formal, itulah keseharian yang terjadi pada proses pembelajaran guru apatis.
Baca juga: Menjadi Guru yang Dicintai Siswa
Kedua hal sebagai yang melatarbelakangi lahirnya guru apatis telah termaklumkan. Semoga menggugah para guru untuk “mengibasnya” dari langkah maju yang kreatif serta inovatif pada dirinya. Benar, tragis jika ada guru menjadi apatis disebabkan bayang-bayang kedua hal di atas. Bagaimana tidak, jika guru telah menjadi apatis, siapa lagi yang diharap untuk mengisi penerus bangsa ini dengan semangat positif. Ingat, lima, sepuluh, lima belas tahun ke depan, bagaimana bangsa ini ditentukan oleh para siswa yang sekarang dididik oleh guru-guru kita. Jadilah guru yang lebih peduli, tinggalkan apatisme. Tingkatkan terus kepedulian terhadap siswa, karena yakinlah bahwa guru yang lebih peduli terhadap siswanya adalah guru yang mengemban amanah yang sebenarnya. SEKIAN.
*) Ditulis oleh MUH. SYUKUR SALMAN, Guru SD Negeri 71 Parepare