Beberapa Gagasan Tentang Pendidikan Budi Pekerti
Pendidikan budi pekerti tidak hanya menyentuh otak, tetapi terutama menyentuh perasaan, menyentuh “hati“. |
Peraturan MENDIKBUD No. 21 Tahun 2015 untuk menerapkan pendidikan budi pekerti di sekolah-sekolah mulai tahun pelajaran 2015/2016 merupakan keputusan yang sangat bijaksana. Karakter menjadi kunci berhasilnya upaya pendidikan membangun peradaban. Salah satu langkah mencapai karakter yang baik adalah menumbuhkan budi pekerti siswa di sekolah. Masalahnya jangan sampai penilaian guru terhadap pendidikan budi pekerti disamakan dengan penilaian yang berlaku seperti penilaian mata pelajaran di sekolah.
Mengapa demikian ?
Karena secara pedagogis “ pendidikan budi pekerti “ lain wataknya dari pelajaran-pelajaran yang ada di sekolah selama ini, seperti pelajaran-pelajaran bahasa, matematika, pengetahuan alam, dan sebagainya. Dalam sistem evaluasi kita sekarang ini, kemajuan siswa kita evaluasi berdasarkan penguasaan mereka terhadap pengetahuan. Ini berlaku dari evaluasi dalam bentuk ulangan biasa sampai ke evaluasi dalam bentuk Ujian Nasional.
Dalam pendidikan budi pekerti yang menjadi ukuran bukan pengetahuan tentang yang benar dan yang salah, yang baik dan yang buruk, tetapi kepatuhan kepada apa yang oleh masyarakat dianggap benar atau salah tadi. Dalam tingkat kedewasaan yang lebih tinggi, kepatuhan kepada norma-norma tentang yang benar dan yang salah tadi tidak lagi ditentukan oleh ukuran-ukuran yang ditentukan masyarakat, tetapi oleh ukuran-ukuran yang ada dalam hati nurani diri.
Jadi pendidikan budi pekerti pada dasarnya adalah bimbingan untuk mengembangkan hati nurani. Pendidikan budi pekerti bukan pelajaran tentang sifat-sifat manusia yang nyaris sempurna dipertentangkan dengan manusia yang jahat. Pendidikan budi pekerti tidak hanya menyentuh otak, tetapi terutama menyentuh perasaan, menyentuh “hati“. Ketajaman otak memang diperlukan untuk memahami norma-norma tentang kebenaran dan kebohongan, tentang kebaikan dan kezaliman, tetapi otak saja tidak cukup. Yang lebih penting daripada otak atau pengetahuan adalah kepekaan terhadap norma-norma atau nilai-nilai.
Baca juga: Peran Guru dalam Penumbuhan Budi Pekerti
Pendidikan budi pekerti yang berhasil ialah pendidikan yang berhasil membuat anak merasa salah pada waktu dia berbuat salah, sekalipun tidak ada orang lain yang menyalahkan perbuatannya tadi. Pada sisi lain, pendidikan budi pekerti yang berhasil akan membuat anak merasa terganggu, setiap kali ia menyaksikan pelanggaran norma-norma oleh seseorang, sekalipun pelanggaran tadi tidak merugikan dirinya.
Pertumbuhan hati nurani seperti ini tidak dapat dinilai dengan angka. Pertumbuhan hati nurani ini tidak dapat diketahui melalui pertanyaan-pertanyaan tentang apa yang benar dan apa yang salah. Pertumbuhan hati nurani atau karakter hanya dapat diketahui melalui pengamatan, melalui observasi. Kumpulan dari pengamatan-pengamatan mengenai perilaku anak inilah yang akan dapat memberikan gambaran mengenai ada-tidaknya, atau besar-kecilnya pertumbuhan hati nurani pada siswa.
Jadi sistematika unik meng-evaluasi kemajuan siswa dalam pendidikan budi pekerti berbeda sama sekali dengan sistematika untuk meng-evaluasi kemajuan siswa dalam mata pelajaran yang mengutamakan pengembangan kemampuan kognitif semata-mata. Pendidikan budi pekerti merupakan mata pelajaran yang mengutamakan pembinaan kekuatan konatif, kekuatan membina tekad, dan kepekaan afektif, kepekaan terhadap nilai-nilai.
Saya sependapat dengan Mendikbud, bahwa pertumbuhan budi pekerti atau watak siswa harus dinilai. Sungguh sangat berbahaya membesarkan seorang siswa menjadi anak yang sangat cerdas, tetapi dalam dirinya dibiarkan berkembang watak seorang kriminal. Ini tidak dapat dibiarkan. Harus ada keserasian antara perkembangan watak dengan perkembangan pengetahuan. Yang saya persoalkan ialah cara menilai keberhasilan siswa dalam pendidikan budi pekerti. Kelulusan anak dalam ujian watak atau budi pekerti harus dilakukan dengan cara yang berbeda dengan menentukan kelulusan dalam Ujian Nasional.
Pendidikan budi pekerti berusaha membimbing anak untuk memahami, menerima, serta mentaati nilai-nilai etis, yaitu nilai-nilai tentang yang benar dan yang salah. Disamping itu anak-anak juga harus kita bimbing juga untuk mengenal dan menghayati nilai-nilai estetis, yaitu nilai-nilai tentang yang indah dan yang buruk, serta nilai-nilai synnoetis, yaitu nilai-nilai mengenai keserasian hubungan antar-pribadi ( inter-subject relationships).
Kepekaan dalam nilai-nilai synnoetis ini akan membentuk dalam diri anak kepekaan sosial. Jadi pada akhirnya manusia yang berbudi, manusia yang berwatak atau berkarakter adalah manusia yang berani membela kebenaran, mampu merasakan keindahan, dan bersedia menghargai manusia lain, betapa pun bedanya orang lain tadi dengan dirinya sendiri.
Pendidikan budi pekerti adalah pendidikan tentang nilai-nilai. Dan inilah yang kita abaikan selama ini di sekolah-sekolah kita.
*) Ditulis oleh Anwar Mulyana, M.Pd. Kepala SDN 2 Nagri Kidul Purwakarta