Merehabilitasi Pendidikan Watak di Sekolah dan Keluarga
Kalau anak mendapatkan dasar-dasar pembinaan watak yang baik di keluarga, maka tugas sekolah ialah memperkaya perbendaharaan norma-norma moralitas anak. |
Sebetulnya tidak diabaikan! Pendidikan watak dilaksanakan, tetapi caranya salah. Kita masih ingat peristiwa yang belum lama terjadi, dimana siswa kelas 2 SD melakukan tindakan yang menyebabkan meninggal temen dekatnya, atau berita tawuran pelajar yang belum kunjung selesai, sampai mahasiswa yang kita bilang tokoh intelektual juga melakukan tawuran. Dari beberapa kejadian tersebut, pasti yang disalahkan pihak sekolah. Sekolah dianggap tidak mampu membentuk watak anak, atau lebih ekstrim lagi ada yang bilang ini kegagalan pendidikan di sekolah-sekolah kita. Sebenarnya apa yang salah dari pendidikan watak disekolah kita.
Secara pedagogis pendidikan watak mempunyai dua aspek, yaitu (1) Pembinaan ketaatan terhadap norma-norma moralitas, dan (2) Pengembangan kepribadian (personality development).
Kedua aspek ini tidak dapat dipisahkan, karena cara setiap manusia menghimpun norma-norma moralitas dan melaksanakan norma-norma tadi tidak dapat dipisahkan dari jenis keperibadian yang dimilikinya. Dan kepribadian ini adalah sesuatu yang tidak dapat diubah begitu saja oleh orangtua atau pendidik. Seorang anak dengan watak pemberang dan ini adalah soal kepribadian atau personality tidak dapat diubah begitu saja menjadi orang yang sabar. Yang dapat dilakukan oleh orangtua dan guru ialah membimbing anak tadi untuk memahami dan menguasai dirinya, agar watak pemberang yang ada dalam dirinya tadi tidak dinyatakan dalam bentuk-bentuk perilaku yang akan membuat dirinya terkucil dalam masyarakat.
Masyarakat dan sekolah pada umumnya lebih memperhatikan pendidikan watak dalam arti pembinaan ketaatan terhadap norma-norma moralitas. Para orangtua dan guru pada umumnya kurang memperhatikan masalah pengembangan kepribadian yang ada dalam diri anak. Orangtua lebih sering bertanya berapa nilai yang didapatkan anak saya?, rangking berapa anak saya?, atau pesan-pesan yang umum yang disampaikan untuk banyak belajar. Jarang sekali orangtua bertanya mengapa sekolah tidak mampu membuat anak-anak saya mentaati norma-norma moralitas. Mereka jarang mempertanyakan, mengapa hanya anak-anak tertentu saja yang berhasil mengembangkan kepribadian mereka secara penuh dan mampu menjadi anak muda yang sosok kepribadiannya muncul dengan jelas, dan mereka menjadi anak-anak yang dikenal oleh lingkungannya. Kebanyakan anak-anak kita berkembang menjadi anak muda dengan kepribadian yang kabur.
Tidak banyak orangtua yang menyadari, bahwa dasar-dasar ketaatan kepada norma-norma moralitas sebenarnya sudah mulai ditanamkan di rumah. Apa yang dilakukan sekolah ialah melanjutkan pembinaan watak yang sudah dimulai di lingkungan keluarga tadi. Kalau anak mendapatkan dasar-dasar pembinaan watak yang baik di keluarga, maka tugas sekolah ialah memperkaya perbendaharaan norma-norma moralitas anak. Tetapi apabila pembinaan yang dilakukan di keluarga salah, maka sekolah harus terlebih dahulu memperbaiki atau mengoreksi kesalahan-kesalahan tadi, sebelum dapat melanjutkannya dengan memperkenalkan norma-norma moralitas baru.
Anak yang oleh orangtua dibiarkan mempergunakan kata-kata yang tidak senonoh, misalnya, tidak dapat begitu saja dimbimbing untuk mentaati norma-norma sopan santun yang baru. Terlebih dahulu sekolah harus melatih anak tadi untuk menghilangkan kebiasaan mempergunakan kata-kata yang kurang senonoh tadi.
Kesalahan yang banyak dilakukan oleh sekolah kita ialah bahwa sekolah tidak berusaha mengetahui pendidikan watak yang telah diberikan orangtua di rumah. Kebanyakan sekolah beranggapan, bahwa anak di rumah telah mendapatkan dasar-dasar pendidikan watak yang benar, dan bahwa norma-norma moralitas yang dianut oleh para orangtua identik dengan norma-norma moralitas yang dianut oleh sekolah. Dan tidak pernah dilakukan usaha untuk memeriksa kebenaran asumsi ini.
Dalam hal pengembangan kepribadian, kelemahan yang terjadi di sekolah ialah bahwa kebanyakan guru tidak berusaha mengenal sosok kepribadian anak-anak. Yang mereka perhatikan ialah apakah anak-anak cukup menguasai materi yang mereka ajarkan. Jadi guru Pendidikan Kewarganegaraan, misalnya, lebih banyak mengajarkan Pendidikan Kewarganegaraan daripada mendidik anak. Pendidikan Kewarganegaraan tidak diperlakukan sebagai medium untuk turut membentuk kepribadian anak, tetapi semata-mata sebagai kumpulan pengetahuan akademik yang harus dikuasai anak. Pendidikan Kewarganegaraan lalu menjadi beban mental, bukan alat intelektual.
Baca juga:Beberapa Gagasan Tentang Pendidikan Budi Pekerti
Akibat dari situasi sekolah seperti ini anak tidak mendapat kesempatan yang cukup luas untuk mengembangkan potensi-potensi yang ada dalam dirinya secara bebas. Kurikulum yang seragam serta tidak adanya program ko-kurikuler yang cukup beragam membuat anak-anak berkembang secara seragam dan konformistik. Anak yang berbakat musik tidak mendapat kesempatan untuk mengembangkan bakatnya secara penuh dan menjadi pemain musik yang handal. Keberhasilan anak-anak tertentu menjadi pemain musik yang baik biasanya lebih merupakan hasil dari pengalaman-pengalaman pendidikan yang mereka peroleh di luar sekolah.
Dengan situasi pendidikan seperti ini, tidaklah mengherankan bahwa dalam tubuh bangsa kita secara perlahan-lahan muncul generasi-generasi yang mayoritas anggotanya adalah manusia-manusia yang kurang berwatak dan kurang berkepribadian.
Pelajaran apa yang dapat kita tarik dari analisis ini?
Pertama, bahwa timbulnya generasi yang didominasi oleh pemimpin-pemimpin yang kurang watak dan kurang berkepribadian bukan salah sekolah semata-mata. Keluarga atau orangtua juga turut bersalah. Kalau kita benar-benar menginginkan lahirnya generasi baru yang berwatak dan lebih berkepribadian, maka harus ada kerjasama yang lebih erat antara keluarga dan sekolah. Sekolah harus berusaha mendapatkan informasi dari orangtua, dasar-dasar pembinaan watak apa saja yang telah diberikan kepada anak, serta apa ciri-ciri kepribadian yang dimiliki setiap anak. Sebaliknya keluarga harus membantu sekolah memperkokoh pola pembinaan watak yang dilakukan di sekolah. Antara keluarga dan sekolah tidak boleh terjadi konflik dalam norma-norma moralitas.
Kedua, Berdasarkan pengalaman kita selama ini kita sadari benar, tidak adanya contoh dan ketauladan dari tokoh-tokoh bangsa. Yang kita saksikan sekarang lahirnya pemimpin yang tidak berwatak dan kurang berkepribadian. Betapa berbahayanya membiarkan tampilnya pemimpin-pemimpin yang takut mencegah merosotnya moral bangsa dan berani melakukan perbuatan-perbuatan korektif. Tidak terlampau salah rasanya kalau dikatakan, bahwa segenap kesulitan bangsa yang kita alami sekarang ini adalah akibat dari lahirnya pemimpin bangsa yang kurang berwatak dan kurang berkepribadian tadi. Ini merupakan akibat dari kelengahan bangsa terhadap proses erosi moral dan lunturnya pola-pola kepribadian yang menjadi idaman bangsa selama kurun waktu tertentu.
Ketiga, Guru berperan menumbuhkan watak anak dengan melakukan tahapan-tahapan dalam pembudayaan pendidikan budi pekerti di sekolah yaitu diajarkan tentang norma-norma moralitas, dibiasakan dalam kegiatan sehari-hari, dilatih konsisten untuk mempertahankan kebaikan yang telah dilakukan dengan penuh tanggung jawab, menjadi kebiasaan yang terus menerus dilakukan baik di sekolah maupun di rumah, menjadi karakter sehingga menjadi ciri kepribadiaan yang luhur , dan menjadi budaya yang melekat dalam kehidupan sehari-hari. Dan itulah puncak keberhasilan pembentukan watak anak.
Jadi, kita harus mulai lagi dari sendi-sendinya. Janganlah sekolah diperlakukan sebagai obyek kesalahan dalam mendidikan watak anak. Jangan pula sekolah dibiarkan bergelut seorang diri dalam usaha menegakkan moral bangsa ini. Untuk itu sekolah harus dipulihkan menjadi lembaga pendidikan yang memiliki otoritas moralnya sendiri dengan adanya kerjasama semua pihak, baik orangtua maupun pemerintah. Kapan memulainya? dari sekarang.
*) Ditulis oleh Anwar Mulyana, M.Pd. Kepala SDN 2 Nagri Kidul Purwakarta