MENANGANI ANAK BERKESULITAN BELAJAR
Arsala, siswa Kelas III SD Muhammadiyah Condong Catur, bersama
dengan 34 siswa SD lain, Sabtu (14/5) pagi, tampak asyik mengerjakan
60 soal Standard Progressive Matrices, di Laboratorium Pendidikan
Luar Biasa, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta.
Setelah lebih kurang satu jam mengerjakan, dia lalu menyerahkan
kertas jawabannya. "Soalnya tadi gampang, tidak terlalu sulit. Saya
mengerjakan semua soal," ujar Arsala yang datang diantar gurunya
pagi itu.
Standard Progressive Matrices (SPM) merupakan satu tes
inteligensi bagi anak-anak usia 7-12 tahun yang mengalami kesulitan
belajar spesifik. SPM ini diteskan pada siswa Kelas II dan III SD,
sedangkan untuk siswa Kelas I, diberikan tes Coloured Progressive
Matrices (CPM).
***
Anak berkesulitan belajar spesifik adalah anak yang mengalami
kesulitan belajar karena ada gangguan persepsi. Mereka sebenarnya
memiliki tingkat inteligensi cukup baik, namun prestasi belajarnya
kurang.
Nur Azizah, terapis yang mendampingi tes menjelaskan,
pemeriksaan psikologis ini ditujukan bagi siswa-siswi SD yang
dianggap mengalami kesulitan belajar di kelas. "Ada lima grade hasil
tes ini, dan grade satu terbaik," ujarnya.
Tin Suharmini MSi, Ketua Laboratorium Pendidikan Luar Biasa
(PLB) Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) mengatakan, setelah tes
itu, lalu dianalisis dan dilanjutkan dengan tes Weisler Intelligence
Skill Children (WISC), tes kecerdasan verbal dan performance, untuk
mendeteksi apakah mereka mengalami gangguan persepsi atau tidak.
Ada tiga bentuk kesulitan belajar anak, yakni kesulitan di
bidang matematika atau berhitung (diskalkulia), kesulitan membaca
(disleksia), kesulitan berbahasa (disphasia), dan kesulitan menulis
(disgraphia). Mereka juga kesulitan orientasi ruang dan arah,
misalnya sulit membedakan kiri-kanan, atas-bawah.
Endang Supartini, dosen PLB UNY menambahkan, tanda-tanda
disleksia, antara lain, tidak lancar atau ragu-ragu dalam membaca,
membaca tanpa irama (monoton), dan kesulitan mengeja. Tanda-tanda
disgraphia, misalnya, tulisan sangat jelek, terbalik-balik, dan
sering menghilangkan atau malah menambah huruf. Sedangkan, tanda-
tanda diskalkulia, misalnya kesulitan memahami simbol matematika.
"Misalnya tanda tambah (+) dilihat sebagai tanda kali (x). Atau,
ketika ditanya berapa hasil kali lima dengan lima. Meskipun mereka
menjawab benar, yakni 25, tetapi dalam menuliskannya salah. Bukan
angka 25 yang ditulis, tetapi 52," ujar Endang.
Dosen PLB UNY lain, Heri Purwanto memaparkan, ada dua bentuk
penanganan utama bagi mereka. Pertama, yakni klinik, bila kesulitan
belajar mereka disebabkan faktor internal yang lebih banyak bersifat
neurologis. Kedua, pengajaran remidial, jika kesulitan belajar
mereka disebabkan faktor eksternal dan pascapenanganan klinik.
Peran orangtua dan guru sangat menentukan. Tin menyebut, hampir
90 persen guru dan orangtua belum mengetahui siswa dan anaknya
mengalami kesulitan belajar. SD yang khusus bagi mereka belum ada.
dengan 34 siswa SD lain, Sabtu (14/5) pagi, tampak asyik mengerjakan
60 soal Standard Progressive Matrices, di Laboratorium Pendidikan
Luar Biasa, Fakultas Ilmu Pendidikan, Universitas Negeri Yogyakarta.
Setelah lebih kurang satu jam mengerjakan, dia lalu menyerahkan
kertas jawabannya. "Soalnya tadi gampang, tidak terlalu sulit. Saya
mengerjakan semua soal," ujar Arsala yang datang diantar gurunya
pagi itu.
Standard Progressive Matrices (SPM) merupakan satu tes
inteligensi bagi anak-anak usia 7-12 tahun yang mengalami kesulitan
belajar spesifik. SPM ini diteskan pada siswa Kelas II dan III SD,
sedangkan untuk siswa Kelas I, diberikan tes Coloured Progressive
Matrices (CPM).
***
Anak berkesulitan belajar spesifik adalah anak yang mengalami
kesulitan belajar karena ada gangguan persepsi. Mereka sebenarnya
memiliki tingkat inteligensi cukup baik, namun prestasi belajarnya
kurang.
Nur Azizah, terapis yang mendampingi tes menjelaskan,
pemeriksaan psikologis ini ditujukan bagi siswa-siswi SD yang
dianggap mengalami kesulitan belajar di kelas. "Ada lima grade hasil
tes ini, dan grade satu terbaik," ujarnya.
Tin Suharmini MSi, Ketua Laboratorium Pendidikan Luar Biasa
(PLB) Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) mengatakan, setelah tes
itu, lalu dianalisis dan dilanjutkan dengan tes Weisler Intelligence
Skill Children (WISC), tes kecerdasan verbal dan performance, untuk
mendeteksi apakah mereka mengalami gangguan persepsi atau tidak.
Ada tiga bentuk kesulitan belajar anak, yakni kesulitan di
bidang matematika atau berhitung (diskalkulia), kesulitan membaca
(disleksia), kesulitan berbahasa (disphasia), dan kesulitan menulis
(disgraphia). Mereka juga kesulitan orientasi ruang dan arah,
misalnya sulit membedakan kiri-kanan, atas-bawah.
Endang Supartini, dosen PLB UNY menambahkan, tanda-tanda
disleksia, antara lain, tidak lancar atau ragu-ragu dalam membaca,
membaca tanpa irama (monoton), dan kesulitan mengeja. Tanda-tanda
disgraphia, misalnya, tulisan sangat jelek, terbalik-balik, dan
sering menghilangkan atau malah menambah huruf. Sedangkan, tanda-
tanda diskalkulia, misalnya kesulitan memahami simbol matematika.
"Misalnya tanda tambah (+) dilihat sebagai tanda kali (x). Atau,
ketika ditanya berapa hasil kali lima dengan lima. Meskipun mereka
menjawab benar, yakni 25, tetapi dalam menuliskannya salah. Bukan
angka 25 yang ditulis, tetapi 52," ujar Endang.
Dosen PLB UNY lain, Heri Purwanto memaparkan, ada dua bentuk
penanganan utama bagi mereka. Pertama, yakni klinik, bila kesulitan
belajar mereka disebabkan faktor internal yang lebih banyak bersifat
neurologis. Kedua, pengajaran remidial, jika kesulitan belajar
mereka disebabkan faktor eksternal dan pascapenanganan klinik.
Peran orangtua dan guru sangat menentukan. Tin menyebut, hampir
90 persen guru dan orangtua belum mengetahui siswa dan anaknya
mengalami kesulitan belajar. SD yang khusus bagi mereka belum ada.