Belajar Sains Tidak Hanya Hafalan
Sistem hafalan tak membangun rasionalitas peserta didik. |
Sains adalah salah ilmu pengetahuan yang bisa membawa banyak perubahan untuk kehidupan. Untuk itulah sains sudah diajarkan sejak pendidikan dasar. Tetapi sains masih dipelajari dengan cara hafalan dan sebatas teori, banyak peserta didik yang disuruh untuk menghafalkan teori-teori, rumus-rumus dan sebagainya.
Minimnya alat peraga atau media pembelajaran membuat proses belajar sains di sekolah masih terpaku pada buku teks dan teori. Peserta didik disuruh untuk menghafal dan membayangkan materi pelajaran yang diberikan. Kesulitan alat peraga atau media pembelajaran pada proses belajar sains sebenarnya adalah persoalan umum di Indonesia. Bukan hanya untuk sains saja, melainkan juga untuk semua bidang ilmu.
Materi pelajaran sain atau bidang ilmu yang lain diajarkan dengan cara yang konvesioanl, dimana buku dan guru menjadi media utama. Proses belajar hanya mempelajari teori lalu menghafalkannya. Sistem hafalan pada pendidikan Indonesia tak membangun rasionalitas peserta didik.
Pada pendidikan, rasionalitas itu penting untuk menjelaskan banyak hal, termasuk dalam memahami sains. Fenomena alam tak hanya dipahami sebagai mitos, tetapi juga peristiwa alam yang mengandung penjelasan rasional. Hubungan sebab akibat dari gejala fisika tidak hanya sebatas teori saja tetapi bisa dipelajari dengan mencoba mempraktekan dengan alat peraga sehingga peserta didik bisa menjelaskan secara rasional tanpa hafalan.
Menurut Direktur Observatorium Bosscha Institut Teknologi Bandung Mahasena Putra dikutip dari kompas.com, pendidikan sains yang baik adalah yang tak hanya mengembangkan kemampuan kognitif, tetapi juga harus memberdayakan seluruh indera: mata, telinga, dan tangan.
Komptensi yang harus dikuasai peserta didik berdasarkan kurikulum sains, peserta didik mampu memahami hal yang ada. Cara mencapai kompetensi tersebut diserahkan kepada guru. Karena gurulah yang mengerti karakter dan perkembangan peserta didiknya. Ini menjadikan guru berperan penting dalam proses belajar mengajar dan mendorong peserta didik mampu belajar mandiri secara berkelanjutan.
Sayangnya, tak semua guru bisa melakukannya. Beban kurikulum, kesejahteraan, dan tekanan politik diduga membuat guru tak fokus dalam mendidik. Penggunaan alat peraga untuk membangun pengetahuan peserta didik pun kurang maksimal.