Sertifikasi Guru Hanya Demi Mendapat Tunjangan
Sekarang sering sertifikasi tidak mencerminkan apa-apa, hanya prosedural untuk mendapatkan tunjangan. |
"Sekarang sering sertifikasi tidak mencerminkan apa-apa, hanya prosedural untuk mendapatkan tunjangan. Bukan berarti dia profesional bertanggung jawab berkualitas pada pekerjaannya," kata Sri Mulyani dalam Dialog Publik Pendidikan Nasional Persatuan Guru Republik Indonesia di Gedung Guru Indonesia, Jakarta (10/7/18).
Salah satu contoh sederhana dari profesionalitas dan tanggung jawab guru yaitu memastikan anak didiknya mengikuti pelajaran dengan baik, bukan sekadar hadir dalam kelas namun pikirannya berada di tempat lain. Lebih jauh, ia sempat menyinggung kinerja guru tetap yang kerap tidak terlihat mengajar dibandingkan dengan guru honorer.
Para guru diharapkan bisa bersikap baik sebab sikap guru dapat mewakili sikap pemerintah. Apalagi, sikap guru mulai dari cara mengajar hingga cara memberi nilai dapat ditiru oleh murid yang merupakan aset bangsa. Selain itu, ia meminta para guru betul-betul berkomitmen meningkatkan kualitasnya.
“Kalau saya lihat tunjangan guru, sertifikasi dulu saya senang ada. Tapi sekarang itu tidak mencerminkan apa-apa, cuma untuk dapat tunjangan. Maka kita harus berfikir keras mengenai kualitas guru ini," kata Sri Mulyani.
Sejatinya, guru melakukan sertifikasi untuk membuktikan kemampuan mengajarnya. Adapun pemerintah memberikan imbalan atas kemampuan tersebut dengan memberikan tunjangan profesi. Hal itu sesuai dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
Baca: "Masih Ada Guru Sertifikasi yang Malas Mengajar"
Pemerintah telah mengalokasikan dana pendidikan sebesar 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) setiap tahunnya dalam upaya mendukung dunia pendidikan. Sebanyak sepertiga dari anggaran pendidikan dikelola pemerintah pusat, sementara dua pertiganya dikelola oleh pemerintah daerah.
Menurutnya pemanfaatan anggaran tersebut belum optimal. Jika dibandingkan dengan Vietnam yang juga mengalokasikan proporsi sebesar 20% untuk pendidikan, dari hasil tes, Indonesia masih berada di bawah Vietnam. Padahal, Indonesia sudah mengalokasikan sejak 2009 jauh lebih dulu dibandingkan Vietnam.
“Vietnam yang sudah memulai 20 persen dari APBN sejak 2013, tapi, kalau dihitung hasilnya, matematika misalnya, skor Vietnam tinggi di nilai 90, sedangkan kita di 50 sampai 40," kata Sri Mulyani.
Dengan anggaran yang tinggi, tenaga pengajar berpotensi untuk memperebutkan dana tanpa mempertimbangkan target dan tujuan yang sesuai dengan cita-cita anak didik. Menurutnya penggunaan APBN sebagai insentif di bidang pendidikan terus diperbaiki. Ini juga harus ditunjang dengan indeks hasil belajar pendidikan bisa lebih baik.