KKM, UN dan Disorientasi Tujuan Pendidikan
Kelemahan guru dalam menggali potensi peserta didik menjadi salah satu penyebab rendahnya mutu pendidikan di tanah air. Sebagian besar guru masih memaksakan kehendaknya tanpa memperhatikan kebutuhan, minat serta bakat yang dimiliki anak didiknya. Alih – alih berperan sebagai rumah kedua yang nyaman untuk dihuni, sekolah justru telah merampas kesempatan anak untuk tumbuh dan berkembang sesuai dengan potensi yang dimilikinya.
Itulah salah satu poin yang penulis tangkap saat membaca Tajuk Rencana berjudul “Menyoal (Lagi) Pendidikan Kita” yang dimuat di harian umum Pikiran Rakyat edisi 09 Juli 2018. Tulisan tersebut seakan memposisikan guru sebagai “terdakwa” atas berbagai kegagalan yang menyelimuti dunia pendidikan kita saat ini. Namun, benarkah demikian ?
Dalam pandangan penulis, ada dua hal yang menyebabkan anak tidak mampu mengembangkan potensinya selama berada di sekolah. Pertama, pemberlakuan Kriteria Ketuntasan Minimum (KKM). Adanya kewajiban bagi setiap anak untuk meraih nilai minimal pada beberapa mata pelajaran yang belum tentu sesuai dengan minat dan bakat mereka mengakibatkan proses pembelajaran yang berlangsung selama bertahun – tahun tersebut dirasakan sebagai siksaan. Sekolah yang pada awalnya diharapkan berperan sebagai tempat untuk menggali potensi serta mengembangkan kemampuan anak justru terkesan seperti jeruji besi yang mengubur potensi dan membelenggu kreativitas anak. Kondisi semacam ini pada akhirnya berdampak pada kurangnya motivasi anak untuk mengikuti proses pembelajaran.
Kedua, dipertahankannya Ujian Nasional (UN) sebagai salah satu instrument untuk mengukur keberhasilan proses belajar maupun demi kepentingan pemetaan mutu pendidikan di setiap daerah mengakibatkan pembelajaran yang diselenggarakan lagi – lagi berorientasi pada nilai akademik. Adapun upaya pembentukan karakter serta pengembangan potensi anak sebagaimana yang diharapkan dalam setiap proses pembelajaran tidak mendapatkan porsi yang seharusnya. Akibatnya, upaya untuk membentuk generasi unggul berkarakter pun berjalan secara parsial. Anak acap kali dituntut untuk mampu menyelesaikan soal – soal di atas kertas. Namun, kemampuan mereka untuk mencari solusi atas permasalahan yang dihadapi jarang sekali diasah.
Baca: Sekolah Masa Depan dan Guru yang Dibutuhkan
Diberlakukannya KKM dan UN pada setiap jenjang pendidikan pada akhirnya menempatkan guru pada posisi yang cukup sulit. Para guru sebenarnya menyadari akan pentingnya pembentukan karakter anak serta memahami betul kewajibannya untuk membantu anak agar mampu berkembang sesuai dengan potensinya. Namun, pemberlakuan KKM dan UN secara tidak langsung telah mengubur potensi anak sekaligus membelenggu kreativitas guru dalam melahirkan generasi unggul berkarakter. Upaya penanaman nilai – nilai budi pekerti serta kecintaan anak terhadap dunia belajar pun harus terhenti akibat paradigma keliru dalam memandang keberhasilan proses pembelajaran.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa disorientasi tujuan pendidikan seperti yang terjadi saat ini bukan semata – mata disebabkan oleh ketidakmampuan guru dalam menggali potensi anak, melainkan lebih disebabkan oleh aturan yang dibuat oleh pemerintah sendiri. Pemberlakuan KKM serta penyelenggaraan UN yang semakin dipertanyakan kebermanfaatannya sejatinya telah membelenggu kreativitas guru sekaligus memaksa mereka untuk berlaku tidak jujur dengan memberikan nilai yang tidak sesuai dengan kemampuan anak.
*) Ditulis oleh Ramdan Hamdani. Praktisi Pendidikan, Pemerhati Masalah Sosial