Darurat Matematika, Guru Harus Mengubah Pola Ajar
Guru diharapkan tidak lagi fokus pada mengajarkan materi, tetapi juga skill menggunakan matematika dalam kehidupan sehari-hari |
"Karena itu tahun ini kita juga sudah memberlakukan ujian nasional dengan standar HOTS untuk merespon ketertinggalan siswa-siswa kita di dalam matematika," kata Muhadjir yang SekolahDasar.Net kutip dari Republika (13/11/2018).
Melalui pola ajar dan ujian yang berstandar HOTS diharapkan mampu mengasah otak siswa untuk mencerna mata pelajaran lain. Seperti mata pelajaran IPA, Bahasa Indonesia dan materi lain yang diperlukan untuk menghadapi era revolusi industri 4.0.
"Di era digital dan revolusi industri 4.0 ini kan siswa harus menguasai keterampilan 4C yang terdiri dari critical thinking, collaboration, communication skill dan creativity dan saya tambahkan satu lagi yaitu percaya diri," jelas Mendikbud.
Untuk mengoptimalkan pola ajar HOTS di kelas, Kemendikbud juga telah melakukan pelatihan secara besar-besaran kepada guru matematika dan IPA. Pelatihan itu dimaksudkan agar guru juga memahami bagaimana esensi dari proses belajar yang bernalar tinggi atau HOTS.
Kemendikbud mengaku juga telah bekerja sama dengan beberapa pihak. Diharapkan, upaya yang kini telah dilakukan mampu meningkatkan kemampuan siswa dalam menyerap materi matematika di sekolah. Begitu pun guru diharapkan mampu meningkatkan mutu ajarnya.
Indonesia dinilai sudah gawat darurat dalam matematika. Buruknya kualitas matematika masyarakat Indonesia ini didasarkan atas sejumlah penelitian yang dilakukan peneliti kredibel dunia. Kondisi ini dikhawatirkan berdampak pada kemampuan siswa dalam berpikir dan bernalar, serta menyelesaikan permasalahan sehari-hari.
Studi Indonesian National Assessment Program (INAP) yang dilakukan Kemendikbud pada 2016 menjelaskan, kompetensi matematika siswa SD merah total. Sekitar 77,13 persen siswa SD di seluruh Indonesia memiliki kompetensi matematika yang sangat rendah (kurang), 20,58 persen cukup dan hanya 2,29 persen yang kategori baik.
Penelitian terbaru pada 2018, Program Research on Improvement of System Education (RISE) di Indonesia merilis hasil studinya yang menunjukkan bahwa kemampuan siswa memecahkan soal Matematika sederhana tidak berbeda secara signifikan antara siswa baru masuk SD dan yang sudah tamat SMA.
“Yang disebut gawat darurat adalah bahwa kemampuan matematika tidak berkembang seiring bertambahnya tingkat sekolah yang diikuti anak-anak dan penurunan yang terjadi dari tahun ke tahun,” ujar peneliti RISE Niken Rarasati yang SekolahDasar.Net kutip dari Okezone (13/11/2018).
Terkait dengan itu guru diharapkan tidak lagi fokus pada mengajarkan materi, tetapi juga skill menggunakan matematika dalam kehidupan sehari-hari. Juga jangan mengejar prestasi atas dasar angka, sebab percuma anak mendapat nilai 100, tetapi tidak memiliki kemampuan apa-apa.
Oleh karena itu guru mengajarkan siswa agar mampu menghitung yang kemudian digunakan dalam keseharian. Sebab masalah yang terjadi di Indonesia adalah mereka bisa menghafal soal hitungan seperti satu tambah satu dan seterusnya. Namun saat dihadapkan pada soal hitungan cerita mereka kebingungan.
Sementara itu, Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Kemendikbud Hamid Muhammad menyatakan, rendahnya kemampuan matematika siswa Indonesia bukan merupakan hal baru. Menurutnya, begitu juga dengan tingkat kemampuan bahasa dan sains. Hal ini terjadi karena kemampuan literasi dasar Indonesia juga masih rendah.
Salah upaya yang Kemendikbud lakukan untuk meningkatkan kemampuan matematika adalah dengan menambah atau meningkatkan kompetensi guru melalui Bimbingan Teknis Penguatan Proses Pembelajaran. Sehingga guru mampu menciptakan suasana pembelajaran Matematika yang menyenangkan.