Singapura Hapus Sistem Ranking dan Ujian Sekolah
Paradigma pendidikan Singapura berubah, “Belajar bukan kompetisi”. |
Menurut Menteri Pendidikan Singapura Ong Ye Kung, sekolah adalah tempat belajar bukan untuk kompetisi, bersaing dan tinggi-tinggian rangking nilai atau prestasi. Oleh karenanya, pemerintah Singapura akan mengarahkan sistem pembelajaran dengan model pengembangan minat murid, tanpa harus membandingkan mana murid yang berprestasi dan mana yang bukan.
“Learning is not a competition,” tegas Menteri Ong Ye Kung.
Negara kecil ini akan menghapus ujian pada tahun 2019. Sekitar 1.700 sekolah semua informasi yang terkait pemeringkatan ditiadakan. Misalnya, nilai tertinggi atau terendah untuk mata pelajaran tertentu, pewarnaan atau menggaris bawahi nilai yang di bawah standar, jumlah seluruh nilai mata pelajaran dan lain-lain.
Mulai tahun depan kementerian pendidikan akan menghapuskan ujian semua mata pelajaran buat murid-murid kelas satu dan dua SD. Selain itu, apapun bentuk penilaian yang diperoleh murid tidak akan diperhitungkan dalam perolehan nilai secara keseluruhan.
Penghapusan sistem rangking dan ujian ini memungkinkan murid-murid fokus pada pelajarannya. Tidak terlalu memikirkan persaingan secara berlebihan, seperti membandingkan perolehan nilainya dengan nilai teman-temannya.
Para guru akan berupaya mengetahui kepandaian murid-muridnya melalui diskusi kelas, hasil pekerjaan rumah dan pertanyaan-pertanyaan lisan tentang sesuatu hal. Sekolah juga menggunakan penanda secara kualitatif untuk menilai kemajuan murid-murid. Selain itu, guru mengadakan pertemuan berkala dengan orang tua murid untuk membahas berbagai hal.
Keputusan meniadakan rangking dan ujian sangat realistis karena pendidikan bertujuan membantu generasi muda menjadi manusia seutuhnya. Memperoleh pendidikan yang terkait dengan, spritual, moralitas, mampu bersosilisasi, peka terhadap kepentingan orang lain dan rasional, jadi bukan hanya pengetahuan saja.
Pendidikan karakter memang lebih penting daripada perolehan nilai tinggi karena akan menjadi dasar dalam berperilaku. Bukankah kita sering mendengar, makin banyak orang pandai tetapi kejujuran menurun. Fakta ini membuktikan kepandaian yang tidak diimbangi spiritualitas dan emosi cenderung merugikan orang lain.
Kementerian Pendidikan Singapura sendiri melihat menyesuaikan sikap murid terhadap perubahan akan jauh lebih mudah daripada mengubah pandangan orang tua Singapura. Orangtua Singapura terlalu lama dibesarkan dengan tekanan dan kerasnya ujian. Satu hal belum berubah adalah masih diterapkankannya sertifikasi sebelum meninggalkan pendidikan dasar.
Seperti di Finlandia sebagai negara dengan sistem pendidikan paling maju di dunia saat ini pun tak mengenal namanya Ujian Nasional. Evaluasi mutu pendidikan sepenuhnya dipercayakan pada para guru sehingga negara berkewajiban melatih dan mendidik guru guru agar bisa melaksanakan evaluasi yang berkualitas.
Setiap akhir semester murid menerima laporan pendidikan berdasarkan evaluasi yang sifatnya personal dan tidak membandingkan para murid dengan peringkat juara seperti yang telah menjadi tradisi pendidikan di Indonesia. Pemerintah Finlandia sangat meyakini bahwa setiap individu adalah unik dan memiliki kemampuan yang berbeda beda.
Di Indonesia, makin menjamur pendapat lulusan TK harus bisa membaca dan menulis karena manajemen sekolah dasar cenderung lebih menerima calon murid yang sudah menguasai kedua hal tersebut. Ironisnya, selain wajib mampu membaca dan menulis, anak TK sudah diajari bahasa Inggris. Orang tu pun bangga ketika anaknya lebih cepat dapat membaca dan menulis.
Soft skill seperti kemampuan berpikir kritis, kepemimpinan dan kemampuan memecahkan persoalan menjadi kemampuan dasar yang sangat penting. Laporan tersebut mengingatkan kita untuk selalu menjadi manusia pembelajar. Pendidikan di Singapura telah beradaptasi untuk mengikuti perubahan ini. Kita akan melihat siapa yang akan unggul dalam persaingan kerja di masa depan.