PPDB Sistem Zonasi Dinilai Tak Adil, Percuma Anak Dapat Nilai Tinggi
Mending kemarin anak saya enggak usah belajar sekalian, terus kami tinggal dekat dengan sekolah saja biar bisa diterima. |
Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) sistem zonasi dinilai tak adil karena seleksi berdasar jarak rumah dengan sekolah. Salah satu orangtua calon siswa mengatakan bahwa dirinya kecewa terhadap sistem zonasi yang diterapkan saat ini.
Sebab, apa yang diusahakan Nuriza (35), termasuk memberi pelajaran tambahan bagi anaknya dengan harapan dapat menempuh pendidikan di sekolah negeri agar biaya untuk sekolah anaknya bisa lebih murah jadi sia-sia.
"Ya kecewa sekalilah. Percuma anak dapat nilai tinggi, kalau yang diterapkan sitem zonasi seperti ini. Mending kemarin anak saya enggak usah belajar sekalian, terus kami tinggal dekat dengan sekolah saja biar bisa diterima," kata Nuriza yang SekolahDasar.Net lansir dari Radar Tarakan (28/05/19).
Demi menyekolahkan sang anak di sekolah negeri, Nuriza pun mengadukan hal tersebut ke sekolah. Namun karena ketidakpastian, membuat Nuriza memilih untuk berkunjung ke Disdikbud Tarakan secara langsung guna mendapatkan jawaban yang pasti.
"Kenapa bisa begitu, ini tidak adil bagi kami. Kami ini orang miskin, tidak mampu kalau mau sekolahkan anak di swasta, makanya kami selalu berusaha biar anak kami pintar dan bisa bersekolah di negeri," kata Nuriza.
Pengamat pendidikan Kota Tarakan, Tajuddin Noor mengatakan bahwa pada dasarnya, sistem zonasi telah diterapkan pada 2 tahun lalu di Kota Tarakan. Menurutnya, sistem zonasi ini juga pernah dibahas Disdikbud bersama pemerintah pusat.
Pada dasarnya, tujuan penerapan PPDB dengan sistem zonasi baik. Hal tersebut dilakukan dengan harapan tidak ada lagi sekolah favorit sehingga tidak ada sekolah yang tersingkirkan dan memiliki standar yang sama.
Lihat: Melalui Zonasi Siswa tak Perlu Lagi Daftar Sekolah
"Pandangan sekolah favorit itu harus dihapuskan. Tujuan pemerintah itu baik, agar paradigma masyarakat terhadap seluruh sekolah itu sama, dalam arti tidak ada lagi sekolah favorit dalam sistem pendidikan," kata Tajuddin.
Akan tetapi, karena pembangunan sekolah yang tidak merata ini pun membuat pemerintah daerah kesulitan. Ini jika dibiarkan akan berdampak buruk bagi masyarakat yang salah satu contohnya ialah orang tua sudah menjadi acuh tak acuh dengan hasil ujian anak.
"Nampaknya memang masyarakat kita ini harus ada pemaksaan, dalam artian harus ada ketentuan yang mengikat sehingga mau tidak mau termotivasi untuk mewajibkan anak belajar dalam pelajaran tambahan dan seterusnya", kata Tajuddin.