Sekolah Harus Transparan Dalam Pemanfaatan Dana BOS
Kemendikbud berharap sekolah lebih transparan kepada masyarakat untuk pemanfaatan dana BOS |
Anggaran alokasi dana bantuan operasional sekolah (BOS) 2020 mengalami kenaikan yang cukup besar. Jumlahnya mencapai Rp 54,31 triliun atau naik sebesar Rp 4,47 triliun dibandingkan perkirakaan serapan dana BOS 2019 sebesar Rp 49,84 triliun. Kemendikbud berharap sekolah lebih transparan kepada masyarakat untuk pemanfaatan dana BOS.
“Kalau bisa sekolah setiap tahun anggaran baru, terima dana BOS (laporannya, Red) ditempel di tembok sekolah,” kata Staf Ahli Mendikbud bidang Inovasi dan Daya Saing Ananto Kusuma Seta yang SekolahDasar.Net kutip dari Fajar (23/09/19).
Ia menambahkan keterbukaan informasi terkait pengelolaan dana BOS itu penting. Supaya meningkatkan kepercayaan masyarakat, selaku user atau pengguna dari lembaga pendidikan. Dia berharap guru dan kepala sekolah harus meningkatkan moralitasnya supaya tidak ada lagi kasus penyelewengan dana BOS.
Kemendikbud berharap keterlibatan masyarakat dalam pengawasan anggaran di sekolah semakin kuat. Supaya pengawasan tidak melulu harus melalui Inspektorat Jenderal (Itjen) Kemendikbud. Keberadaan komite sekolah bisa menjadi salah satu titik masuk dimulainya era keterbukaan publik dalam pengelolaan dana sekolah.
Sesuai dengan ketentuan, pembentukan komite sekolah yang baru, anggotanya harus mewakili masyarakat. Sehingga tidak ada lagi tudingan bahwa komite sekolah itu adalah tangan kanannya kepala sekolah. Ia meminta ke depan Komite sekolah harus melibatkan tokoh masyarakat dari segala macam latar belakang.
Terpisah, Deputi bidang Koordinasi Pendidikan dan Agama, Kemenko PMK Agus Sartono mengatakan, pemerintah tengah mengatur mekanisme penggunaan dana BOS agar tidak bisa diutak-atik pemda lagi. Menurutnya, pemerintah tidak akan lagi membolehkan pemda menggunakan dana BOS untuk membayar gaji guru honorer.
"Penggunaan dana BOS akan kami tertibkan. Selama ini dana BOS sudah salah sasaran. Mestinya buat operasional sekolah seperti pengadaan buku dan lainnya. Ternyata malah digunakan untuk bayar gaji guru honorer," kata Agus yang SekolahDasar.Net kutip dari JPNN (23/09/2019).
Longgarnya pengawasan dana BOS, menjadi celah pemda terus merekrut guru honorer baru. Mereka beralasan guru PNS banyak yang pensiun. Satu sisi pemerintah melakukan moratorium. Sementara proses belajar mengajar harus tetap berjalan.
"Karena tidak ada guru PNS baru itu makanya masing-masing kepsek mengangkat honorer baru. Gajinya diambil dari dana BOS makanya pemanfaatannya (dana BOS) bagi siswa tidak maksimal," kata Agus.
Ironisnya, besaran gaji guru honorer ini cukup bervariasi. Daerah yang punya kelebihan, berani menggaji dengan standar UMR. Sedangkan yang minim, hanya berdasarkan besaran dana BOS Rp 150 ribu per bulan.
Dia berharap dengan penataan kembali dana BOS, gaji guru honorer lebih manusiawi. Sementara ini solusi yang ditawarkan adalah gaji guru honorer dimasukkan ke pos dana alokasi umum (DAU).