Di Rumah Orang Tua Marah-Marah, Anak Senang Belajar di Sekolah
Anak-anak lebih senang bertemu dengan teman-temannya apalagi di rumah orang tuanya marah-marah sehingga mereka jadi stres. |
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mengakui bahwa mayoritas anak tak mau belajar di rumah. Data tersebut diketahui berdasarkan hasil survei Ada Apa Dengan COVID-19 (AADC-19) yang dilakukan Kementerian PPPA untuk mengetahui persepsi, kondisi dan pengetahuan anak tentang COVID-19.
Deputi Menteri PPPA Bidang Tumbuh Kembang Anak Kementerian PPPA, Lenny N Rosalin mengungkapkan, dari hasil survei yang dilakukan, banyak orang tua tidak siap menjalankan tugasnya sebagai guru dan pengawas bagi anak-anaknya. Tercatat hanya 32 persen anak didampingi orangtuanya saat belajar di rumah.
Lihat juga: Siswa Stres Selama Belajar dari Rumah Bukan Karena Guru Gaptek
Berdasarkan hasil survei, khususnya terkait persepsi anak tentang belajar di rumah menunjukkan mereka juga tidak senang belajar di rumah. Anak-anak lebih senang bertemu dengan teman-temannya apalagi di rumah orang tuanya marah-marah sehingga mereka jadi stres.
"58 persen anak-anak tidak senang belajar di rumah. Bagi anak-anak bermain di sekolah, bertemu teman-teman dan guru-gurunya adalah hal yang paling dikangenin," kata Lenny yang SekolahDasar.Net kutip dari JPNN (17/05/20).
Pengumpulan survei dilakukan dengan responden anak berusia di bawah 18 tahun. Hasil survei juga menyebutkan 38 persen anak menyatakan bahwa sekolah belum memiliki program yang baik dalam penerapan belajar di rumah. Anak-anak kesulitan menangkap pelajaran jika hanya sekedar diberi tugas oleh guru. Mereka berharap ada komunikasi dua arah dengan guru.
Berpotensi Terjadi Lost Generation
Pandemi COVID-19 yang diperkirakan berlangsung cukup lama, berpotensi berakibat pada terjadinya lost generation. Bila hal tersebut tidak dicarikan solusinya, bonus geografi yang diprediksi akan dinikmati Indonesia dan sebagian kecil negara hanya jadi angan-angan.
"Pandemi Covid-19 yang cukup panjang, ancamannya terjadi lost generation atau generasi yang hilang. Kita lihat daya beli masyarakat turun sehingga akses pendidikan juga melemah," kata Dekan Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka, Dr Desvian Bandarsyah, M. Pd.
Yang mengkhawatirkan, dengan menurunnya daya beli masyarakat otomatis para orang tua kesulitan mencukupi kebutuhan gizi anaknya terutama anak balita. Bila gizi tidak tercukupi ditambah akses pendidikan melemah, lost generation pasti terjadi. Selain itu, menurutnya jika negara tidak bisa memberikan sistem pendidikan yang berkeadilan maka akan jadi masalah.
Masa pandemi memaksa orang tua dan rumah sebagai guru serta sekolah. Ini sebagai wadah sekaligus aktor penting untuk menggali potensi anak. Itu sebabnya, wajah pendidikan anak usia dini ke depan harus diubah, dikembalikan ke asalnya sesuai amanat Ki Hajar Dewantara, di mana sekolah, orang tua dan lingkungan harus saling menopang.
"Kalau selama ini kan sendiri-sendiri makanya saat belajar di rumah banyak orang tua tidak siap menjadi guru. Dan, rumah tidak siap dijadikan sekolah," kata Desvian dalam sebuah seminar nasional online.
Praktik pendidikan dasar mau tak mau dilaksanakan di rumah. Belajar dari rumah adalah salah satu cara melawan ketidakberdayaan manusia di hadapan virus COVID-19. Rumah harus jadi solusi bagi anak-anak untuk mendapatkan hak pendidikan.